"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Jumat, 14 Mei 2010

Ralf Dahrendorf “Politik Pluralis”


-Sociology is about an understanding structure...which make determinate behavior regulary probable...The concept of change imposes limitations on a simply causal connection of given structures and observed behavior...because the relationship between norm and action, structure and behavior is of necesity tenuous.-

(Dahrendorf, 1979:65-66)

Para pemikir Dahrendorf kontemporer memandang karya Dahrendorf sebagai otoritas sebagai bentuk dari konflik yang menjadi lawan bagi sosiologi ‘order’. Dahrendorf mengemukakan teori pluralis dari konflik sosial yang berbasis pergeseran kepentingan kelompok. Pandangan Dahrendorf mengenai sifat dasar manusia adalah mengenai konstruksi dari manusia sosiologis yang baru. Kalau menurut pemikiran ekonomi modern menganggap manusia sebagai ‘homo economicus’, dan psikologi memandang manusia sebagai ‘Psychological man’, maka kini munculah ‘homo sociologicus’, yang dikonstruksikan oleh Dahrendorf untuk merepresentasikan secara sosial pemegang kodrat dari peran. Dimana, ia tidak mendeskripsikan bagaimana atau apakah manusia itu, mellainkan menganggapnya secara ilmiah terkonstruksikan, sebuah ide yang sistematis yang memajukan ilmu pengetahuan. Contohnya atom dalam ilmu fisika, seperti peran dalam sosiologi, terkonstruksi secara ilmiah[1] . Bagi Dahrendorf, inti dari manusia karakter moral yang dapat diprediksikan dengan klaimnya terhadap kebebasan, suatu kebebasan individu dan pencapaian diri merupakan ekspresi yang amat jelas dari konsepsi pluralis terhadap sifat dasar dari manusia.

Dalam memandang masayarakat, Dahrendorf menggunakan dua pandangan yang berbeda, model tatanan dan konflik dari masyarakat membagi disiplin teoritisnya kepada dua dasar yang amat kontras. Pada tradisi sosiologi ‘order’, masyarakat merupakan sesuatu yang stabil, organisme yang fungsional, dan terintegrasi satu sama lain melalui adanya konsensus dan berbagi dalam sistem nilai dan norma. Sedangkan pada tradisi konflik dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat ditandai dengan adanya perubahan, suatu momen dari proses historis yang didorong oleh perbedaan kepentingan, karena bagaimanapun stabilitas itu terjadi maka akan berbasiskan koersif bagi yang lemah dari mereka yang berkuasa. Dari kedua basis ini, maka Dahrendorf memandang masyarakat sebagai integrasi dan konflik. Dalam penjelasannya dari dominasi dan penundukan pada level organisasi sosial, bagaimanapun diasumsikan sebagai sifat dasar koersif dari struktur sosial. Kemudian ia mencanangkan gambaran pluralis mengenai ‘open society’ dan menawarkan bentuk dari contractualism –J.J. Rousseau (contohnya negosiasi, voting, dll) sebagai alat solusi dari konflik. Konflik antar kelas dalam teori Dahrendorf berbeda dengan yang diutarakan Marx, lebih lagi Dahrendorf menolak definisi Marx. Bukan antara borjuis dan proletar, melainkan kelompok konflik yang muncul dari struktur otoritas dari organisasi sosial, dan mengganti kelas pada karya Marx dengan kompetisi antara kepentingan kelompok. Konflik antar kelas tersebut, bagi Dahrendorf, hanya merupakan bentuk lain dari konflik sosial yang biasa terjadi. Seperti adanya konflik antar ras, konflik antara yang muda dan yang tua, dan antara laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, Dahrendorf menyatukan visi dari ilmu pengetahuan manusia. Karena itulah konflik tersebut dapat diselesaikan melalui debat parlemen, ataupun negosiasi.

Dahrendorf pada satu sisi menolak fokus pernyataan pluralis tentang dimensi subjektif dari realitas sosial. Tetapi disisi lain, ia tetap berada pada akar pendekatan Weberian akan tatanan sosial makro dari masyarakat, yang terlihat mengenai pernyataannya tentang otoritas pada organisasi sosial. Ia juga tetap menggunakan metode kualitatif dalam konsepsinya dan memusatkan perhatiannya pada bergantinya relasi otoritas munculnya dari beragam kelompok kepentingan dari waktu ke waktu walaupun tidak spesifik secara historis.Dahrendorf juga mengkritik klasifikasi Marx yang membagi masyarakat menjadi dua kelas, pemilik dan bukan pemilik yang dianggapnya kolot. Menurutnya, pada era kapitalisme industri modern, kepemilikan legal dan kontrol faktual berbeda. Maksudnya untuk menggunakan otoritas pada level ekonomi ataupun bukan, tidak perlu untuk memiliki alat produksi, dan hal ini menjadi poin krusial bagi Dahrendorf, dimana otoritas menjadi secara struktural mempengaruhi formasi kelas dan konflik kelas. Jadi, distribusi dari otoritaslah yang menjadi basis, dan terjadi selama adanya perubahan sosial. Otoritas menjadi bentuk spesial dari otoritas pada ekonomi industrial dan bukan basis bagi kelas yang berkuasa. Dahrendorf juga memberikan argumen pada konsep otoritas Weber yang diikuti dengan tipe kepemimpinan legal-rasional, ia berpendapat bahwa relasi dari otoritas adalah masalah dominasi yang dilegalkan secara struktural dan subjeksi, bukannya kekuatan dari individu(misal pada meiliter perintah komandan kepada prajurit, pada struktur sebuah perusahaan, manajer memerintah karyawan). Relasi sosial dari otoritas selalu melibatkan superordinasi dan subordinasi, dimana secara sosial superordinasi diharapkan untuk memimpin dan yang lainnya dipimpin, dengan memikul posisinya secara sosial. Otoritas yang yang diberikan legitimasi dapat memberikan sanksi terhadap individu yang berada di dalam sturuktur legal tersebut. Pada lain sisi, otoritas merupakan sumber dari konflik.

Dalam menjelaskan class dan class conflict , Dahrendorf melihatnya sebagai benturan kepentingan antara kelompok dominan dan submisif. Kelas sosial dalam pengertiannya dianggap sebgai kolektivitas dari masyarakat yang mempunyai kesamaan kepentingan (baik yang tersembunyi maupun yang dimanfestasikan) karena berbagi dalam suatu posisi pada struktur dari asosiasi/organisasi sosial. Menurut Dahrendorf, intensitas dari konnflik antar kelas dapat direduksi kepada tingkatan yang[2] :

1. Kelas-kelas bebas untuk mengorganisir dirinya.

2. Konflik antar kelas terkandung dalam organisasi dan tidak terdapat di tempat lain.

3. Distribusi dari otoritas dan penghargaan (reward) bersifat memisahkan.

4. Kelas bersifat terbuka.

Sedangkan kekerasan pada konflik dapat dikurangi jika[3] :

1. Kelas dapat diorganisir

2. Deprivasi absolut dari penghargaan untk subjek kelas memberikan jalan untuk deprivasi relatif

3. Konflik antar kelas dapat diatur secara efektif

Konflik antar kelas yang dimaksudkan disini adalah konflik yang menghasilkan perubahan struktural pada level asosiasi/organisasi sosial dimana konflik tersebut terjadi.

Kritik

Walaupun pada dasarnya Dahrendorf mengadopsi konsep dari class conflict, tetapi pengertiannya sama sekali meninggalkan tradisi Marxian, dan merubahnya dengan menggunakan tradisi dari Weberian. Dahrendorf merubah mode of production yang menjadi sumber dari konflik dalam tradisi Marxian menjadi relasi dari otoritas. Selain itu, ia juga mereduksi kelas menjadi kelompok kepentingan.

Dahrendorf juga dianggap gagal mengintepretasikan hubungan dialetik yang terjadi dalam kerangka teoritisnya antara order dan conflict. Dimana dalam hubungan dialetik tersebut dapat dilihat hubungan antara sejarah dengan tatanan masyarakat pada masa sekarang ini. Selain itu Dahrendorf juga mereduksi structural change yang merupakan sintesis dari konflik dimana pada tradisi Marxian, perubahan struktural tersebut melingkupi seluruh bagian dalam masyarakat, tetapi ia mereduksinya menjadi perubahan pada level asosiasi/organisasi sosial.

Kritik juga diberikan atas konsepsinya tentang perubahan struktural tersebut. Jika yang ia maksudkan perbuahan tersebut adalah pergantian peran yang melingkupi pergantian posisi dengan ekspektasi yang berbeda, maka hal ini lebih mirip dengan mobilitas sosial daripada disebut dengan perubahan sosial



[1] William Purdue ‘Sociological Theory’. Hlm 200

[2] William Purdue ‘Sociological Theory’. Hlm 204

[3] Ibid hlm 204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar