"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Selasa, 31 Mei 2011

Struktur-Agen
( Habitus x Capital ) + Field = Practice
-Pierre Bourdieu-
Pembahasan mengenai struktur-agen memang telah lama hadir dalam teori-teori sosiologi klasik (seperti Marx, Durkheim dan Weber). Namun pengembangan mengenai struktur-agen dilanjutkan oleh Saussure dan Levi-Strauss dengan pengembangan ilmu pengetahuan bahasa struktural yang menciptakan tradisi strukturalisme. Selanjutnya, Gidden dengan upaya mengkritisi kalangan strukturalisme dan menjembatani para aliran modern dalam menjelaskan hubungan antara struktur-agen menciptakan teori strukturasi yang memfokuskan pada pengintegrasian antara struktur-agen yang mana sebuah tindakan yang dilakukan oleh aktor/agen menyangkut penghubungan dengan struktur. Namun di lain pihak, tidak berarti bahwa struktur menentukan (determinisme) tindakan atau sebaliknya. Tokoh sosiologi yang juga ikut serta dalam upaya pengintegrasian struktur-agen ialah Bourdieu seorang tokoh sosiologi Perancis. Ia memberi label pada orientasi teoritisnya sebagai struktrualisme konstruktivis. Bourdieu melihat bahwa terdapat penggabungan antara struktur objektif yang bebas dari kesadaran dan kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau merepresentasikan mereka (perspektif strukturalisme) dengan pendirian konstruktivisme yang dapat menjelaskan asal-usul pola perspektif dan tindakan maupun struktur sosial. Dari rangkaian penjelasan teori mengenai struktur-agen, studi ini cenderung untuk menggunakan teori dari tradisi struktrualisme konstruktivis yang diwakilkan oleh Pierre Bourdieu.
Dalam penjelasan mengenai struktur-agen, Bourdieu mencoba menaggulangi apa yang dianggap kekeliruan dalam mempertentangkan antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan yang absurd antara agen (individu) dan struktur (masyarakat). Dalam mendefinisikan perspektif teoritisnya dapat dilihat dengan cara berikut:
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental individual yang, hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (dimana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini) (Bourdieu, 1990: 14).
Oleh karena itu, untuk mengakhiri dilema yang terjadi antara obejktivisme-subjektivisme atau struktur-agen, maka Bourdieu memusatkan perhatian pada praktik yang merupakan hasil dari hubungan yang dialektik antara struktur dengan keagenan. Praktik menjadi fokus perhatian guna menghindari pemikiran yang sering tak relevan yang berhubungan dengan obejktivisme-subjektivisme.
Dalam konteks struktur-agen, Bourdieu mencoba memberikan sumbangan pemikirannya lewat Habitus-Field. Konsep habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi realitas sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternaisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Dengan menggunakan skema atau pola yang telah ada aktor memproduksi tindakan mereka. Jadi, secara dialektik habitus ialah produk dari internalisasi struktur (Bourdieu, 1989:18). Namun walaupun habitus ialah struktur yang diintrenalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya. Sebab habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi dapat diadaptasi oleh aktor/individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada. Ini dikarenakan habitus bukan hanya produk dari sosialisasi dari keluarga tetapi juga dari masyarakat sekaligus pengalaman sepanjang kehidupan yang dialami (Bourdieu, 1984 : 170-172).
Pada kurun waktu tertentu, habitus merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selam masa historis yang relaif panjang:”habitus, yang merupakan produk historis , menciptakan menciptakan tindakan baik itu individu maupun kolektif yang oleh karena itu alur atau pola yang tercipta merupakan produk dari periode sejarah, dalam hal ini habitus dapat dikatakan menyaring tindakan dari seorang individu (Ritzer, 1996:523). Dan juga habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Lebih lanjut, tindakan diciptakan melalui habitus dan sebaliknya, yakni habitus adalah hasil dari tindakan yang diciptakan oleh kehidupan sosial.
Habitus, dalam rupanya, dapat berupa gaya berbicara/ dialek (misalnya ada dialek ngapak pada masyarakat Banyumas, atau medok pada masyarakat Jawa) , gaya berpakaian ( orang yang senang dengan sepakbola akan cenderung memakai seragam tim kesukaannya disaat tim tersebut menang suatu pertandingan), yang sebetulnya hal ini dilakukan oleh individu tanpa sadar, dan hal ini dikarenakan adanya habitus yang mebimbing praktik sosialnya.
Pembentukan habitus (Thompson 1991: 12) didasarkan pada beberapa pola, yaitu: inculate (penanaman), structured (terstruktur), durable (bertahan lama), generative (berkembang), serta transposeable (dapat dipindahkan). Pola penanaman terjadi pada saat individu masih pada tahap anak-anak, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran orangtua mereka. Ajaran-ajaran ini dapat berupa moral, etika, cara berperilaku dan lainnya, misalnya saja anak terakhir dari keluarga kelas atas akan mempunyai sifat yang berbeda dengan anak terakhir dari keluarga kelas bawah. Melalui hal tersebut dapat diberikan pengertian bahwa habitus ini juga dapat secara langsung memperlihatkan ataupun merepresentasikan latar belakang keluarga dari seorang individu. Hal-hal yang telah ditanamkan tersebut akan terstruktur didalam diri individu sehingga menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari diri individu menjadi berbagai macam perilaku dari individu tersebut. Dalam pengertian ini habitus telah menjadi referensi bagi tindakan yang dilakukan oleh individu dan menyebabkan habitus menjadi tahan lama. Tetapi, habitus tidak dapat selamanya tidak berubah, hal ini juga dikarenakan individu akan menghadapi berbagai macam situasi dan berganti-ganti lingkungan sesuai dengan kebutuhan individu. Pada titik inilah habitus menjadi semacam perantara antara individu dengan setting sosial yang dihadapi oleh individu dan pada pengertian ini, habitus menjadi sesuatu yang bersifat transposeable.
Selain habitus, konsep Field atau ranah yang merupakan hasil pemikiran Bourdieu ialah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer, 1996:524). Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauaan individu/aktor. Field mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial yang mana realitas sosial dipandang sebagai sebuah topologi (ruang) yang saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di samping itu, field atau ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan intersubjektif antara individu. Melainkan kumpulan sistem terpola dari kekuatan-kekuatan objektif, yaitu hubungan-hubungan historis antara posisi-posisi yang terbentuk dalam pola-pola tertentu dari kekuasaan (power) , atau juga titik-titik pertemuan antar individu yang memiliki minat, ataupun budaya yang sama. Dalam hal ini individu dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah dan posisi objektifnya
Di samping itu, ranah dipandang sebagai sebuah arena pertarungan dengan kata lain ranah merupakan teritorial yang diperjuangkan. Field dilihat sebagai pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (modal ekonomi , modal sosial , modal kultural , modal simbolik ) digunakan dan di-share kepada yang lainnya. Tidak hanya itu, struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk dari aktor (baik itu individu atau kolektif) (Ritzer, 1996:525). Karena itu, posisi obyektif dari individu ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya pada relasinya dengan individu lain, pola hubungan yang terbentuk pada pengertian ini dapat berupa dominasi, subordinasi, maupun homologi. Kesatuan dari berbagai macam ranah akan membentuk ruang sosial yang biasa disebut dengan masyarakat.
Besaran dari berbagai macam modal yang dimiliki individu dan interaksinya dengan individu lain sebagai agen akan menentukan posisi objektifnya didalam ranah. Pemikiran ini kemudian akan berimplikasi terhadap bahwa kepemilikan modal yang besar akan lebih memiliki dominasi posisi objektif dalam hubungannya dengan individu lainnya yang mempunyai kepemilikan modal lebih kecil.
Terdapat beberapa penjelasan mengenai besar kecilnya modal, menurut Haryatmoko (2003:12-13) besar dan kecilnya kepemilikan terhadap modal ditentukan oleh tiga hal, yaitu:
1. Kepemilikan agen atas modal (sosial, ekonomi, kultural, dan simbolik), dengan pengertian bahwa semakin banyak jenis modal yang dimiliki maka semakin besar pula modal yang dimiliki.
2. Semakin banyaknya (jumlah) yang dimiliki agen pada suatu modal maka dapat dikatakan bahwa agen tersebut memiliki modal yang besar. Misalnya saja seseorang yang ahli dalam bermain basket dan juga ahli dalam bermain sepakbola dapat dikatakan mempunyai modal yang lebih besar daripada seseorang yang hanya ahli bermain basket.
3. Bobot relatif dari suatu satu jenis modal yang sangat bergantung kepada karakteristik ranah. Misalnya saja dalam ranah pertemanan, maka modal sosial menjadi bobot yang penting dan paling tinggi. Sedangkan dalam ranah konsumsi, peneliti berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang dapat berkebalikkan. Seperti seorang manajer yang suka dengan fotografi mempunyai kamera Cannon automatis dengan lensa besar yang dapat memfoto dengan detil tetapi tidak mempunyai skill maka tidak akan dihargai lebih daripada bawahannya yang memiliki skill fotografi lebih dan hanya memiliki kamera manual yang istilahnya sudah jadul. Tetapi pada kasus lain, manajer yang memakai laptop apple keluaran MacIntosh terbaru untuk melakukan pekerjaannya tentunya akan memiliki bobot yang lebih besar daripada atasannya yang hanya memakai laptop acer untuk bekerja.
Kembali pada penjelasan mengenai ranah, sebagai arena pertarungan, ranah juga berfungsi untuk mempertukarkan modal-modal yang dimiliki agen dan juga sebagai arena untuk memperebutkan posisi objektif. Dalam pengertian mempertukarkan modal, Bourdieu berpendapat bahwa:
The various types of capital can be exchanged for other types of capital-that is capital is convertible (Bourdieu, 1984)
Kemudian Bourdieu juga menjelaskan bahwa modal yang memiliki nilai paling tinggi untuk dipertukarkan adalah modal simbolik. Modal ini menjadi paling baik untuk dipertukarkan karena kemampuannya untuk mendefinisikan, merepresentasikan melalui kekuasaan simbolik, untuk kemudian memperoleh keuntungan pada berbagai macam hal, seperti ekonomi misalnya, yang kemudian memperkuat kembali posisinya didalam posisi objektifnya dalam ranah.
Sedangkan perebutan posisi objektif didalam ranah diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik atau symbolic struggle, yang merupakan pertarungan antara agen yang memiliki posisi dominan dengan agen yang memiliki posisi dibawahnya dalam suatu ranah, dimana keduanya akan saling memproduksi wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dan memperlemah posisi subjektif agen lainnya. Menurut Bourdieu sendiri, wacana ini merupakan praktik sosial yang merupakan hasil dari dialektika antara habitus dan ranah.
Dalam pembahasaan Bourdieu, wacana yang diproduksi agen tersebut dinamakan sebagai doxa, yaitu wacana dominan yang memiliki keabsahan dalam suatu ranah dan didukung oleh agen yang dominan. Dalam pertarungan simbolik, dimana agen saling memproduksi wacana, maka agen yang memiliki posisi objektif lebih tinggi akan memproduksi orthodoxa, sedangkan agen yang berada pada posisi objektif lebih rendah akan memproduksi heterodoxa yang keberadaannya menentang doxa.

Dari dua konsep yang telah dijelaskan, Bourdieu ingin melihat bahwa fokus perhatiannya ialah relasi antara habitus dan ranah dalam konteks interaksi struktur-agen. Relasi ini, di satu pihak menjelaskan bahwa ranah mengkondisikan habitus, sedangkan di pihak lain mempunyai pengertian yang sebaliknya dimana ranah yang dikondisikan oleh habitus yang memiliki makna dan arti. Dan untuk selanjutnya dari relasi antara aktor/individu dengan ranah (field-habitus) akan menciptakan praktik/practice yang didasari oleh kebutuhan sosial.
Melalui penjelasan di atas dapat dilihat field (ranah) sebagai sebuah struktur sedangkan habitus diibaratkan agen. Terjadi hubungan yang dialektis dimana akan terjadi perulangan (kontinuitas) pada habitus dalam menciptakan sebuah ranah (struktur) dalam masyarakat.