"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Selasa, 31 Mei 2011

Struktur-Agen
( Habitus x Capital ) + Field = Practice
-Pierre Bourdieu-
Pembahasan mengenai struktur-agen memang telah lama hadir dalam teori-teori sosiologi klasik (seperti Marx, Durkheim dan Weber). Namun pengembangan mengenai struktur-agen dilanjutkan oleh Saussure dan Levi-Strauss dengan pengembangan ilmu pengetahuan bahasa struktural yang menciptakan tradisi strukturalisme. Selanjutnya, Gidden dengan upaya mengkritisi kalangan strukturalisme dan menjembatani para aliran modern dalam menjelaskan hubungan antara struktur-agen menciptakan teori strukturasi yang memfokuskan pada pengintegrasian antara struktur-agen yang mana sebuah tindakan yang dilakukan oleh aktor/agen menyangkut penghubungan dengan struktur. Namun di lain pihak, tidak berarti bahwa struktur menentukan (determinisme) tindakan atau sebaliknya. Tokoh sosiologi yang juga ikut serta dalam upaya pengintegrasian struktur-agen ialah Bourdieu seorang tokoh sosiologi Perancis. Ia memberi label pada orientasi teoritisnya sebagai struktrualisme konstruktivis. Bourdieu melihat bahwa terdapat penggabungan antara struktur objektif yang bebas dari kesadaran dan kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau merepresentasikan mereka (perspektif strukturalisme) dengan pendirian konstruktivisme yang dapat menjelaskan asal-usul pola perspektif dan tindakan maupun struktur sosial. Dari rangkaian penjelasan teori mengenai struktur-agen, studi ini cenderung untuk menggunakan teori dari tradisi struktrualisme konstruktivis yang diwakilkan oleh Pierre Bourdieu.
Dalam penjelasan mengenai struktur-agen, Bourdieu mencoba menaggulangi apa yang dianggap kekeliruan dalam mempertentangkan antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan yang absurd antara agen (individu) dan struktur (masyarakat). Dalam mendefinisikan perspektif teoritisnya dapat dilihat dengan cara berikut:
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental individual yang, hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (dimana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini) (Bourdieu, 1990: 14).
Oleh karena itu, untuk mengakhiri dilema yang terjadi antara obejktivisme-subjektivisme atau struktur-agen, maka Bourdieu memusatkan perhatian pada praktik yang merupakan hasil dari hubungan yang dialektik antara struktur dengan keagenan. Praktik menjadi fokus perhatian guna menghindari pemikiran yang sering tak relevan yang berhubungan dengan obejktivisme-subjektivisme.
Dalam konteks struktur-agen, Bourdieu mencoba memberikan sumbangan pemikirannya lewat Habitus-Field. Konsep habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi realitas sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternaisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Dengan menggunakan skema atau pola yang telah ada aktor memproduksi tindakan mereka. Jadi, secara dialektik habitus ialah produk dari internalisasi struktur (Bourdieu, 1989:18). Namun walaupun habitus ialah struktur yang diintrenalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya. Sebab habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi dapat diadaptasi oleh aktor/individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada. Ini dikarenakan habitus bukan hanya produk dari sosialisasi dari keluarga tetapi juga dari masyarakat sekaligus pengalaman sepanjang kehidupan yang dialami (Bourdieu, 1984 : 170-172).
Pada kurun waktu tertentu, habitus merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selam masa historis yang relaif panjang:”habitus, yang merupakan produk historis , menciptakan menciptakan tindakan baik itu individu maupun kolektif yang oleh karena itu alur atau pola yang tercipta merupakan produk dari periode sejarah, dalam hal ini habitus dapat dikatakan menyaring tindakan dari seorang individu (Ritzer, 1996:523). Dan juga habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Lebih lanjut, tindakan diciptakan melalui habitus dan sebaliknya, yakni habitus adalah hasil dari tindakan yang diciptakan oleh kehidupan sosial.
Habitus, dalam rupanya, dapat berupa gaya berbicara/ dialek (misalnya ada dialek ngapak pada masyarakat Banyumas, atau medok pada masyarakat Jawa) , gaya berpakaian ( orang yang senang dengan sepakbola akan cenderung memakai seragam tim kesukaannya disaat tim tersebut menang suatu pertandingan), yang sebetulnya hal ini dilakukan oleh individu tanpa sadar, dan hal ini dikarenakan adanya habitus yang mebimbing praktik sosialnya.
Pembentukan habitus (Thompson 1991: 12) didasarkan pada beberapa pola, yaitu: inculate (penanaman), structured (terstruktur), durable (bertahan lama), generative (berkembang), serta transposeable (dapat dipindahkan). Pola penanaman terjadi pada saat individu masih pada tahap anak-anak, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran orangtua mereka. Ajaran-ajaran ini dapat berupa moral, etika, cara berperilaku dan lainnya, misalnya saja anak terakhir dari keluarga kelas atas akan mempunyai sifat yang berbeda dengan anak terakhir dari keluarga kelas bawah. Melalui hal tersebut dapat diberikan pengertian bahwa habitus ini juga dapat secara langsung memperlihatkan ataupun merepresentasikan latar belakang keluarga dari seorang individu. Hal-hal yang telah ditanamkan tersebut akan terstruktur didalam diri individu sehingga menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari diri individu menjadi berbagai macam perilaku dari individu tersebut. Dalam pengertian ini habitus telah menjadi referensi bagi tindakan yang dilakukan oleh individu dan menyebabkan habitus menjadi tahan lama. Tetapi, habitus tidak dapat selamanya tidak berubah, hal ini juga dikarenakan individu akan menghadapi berbagai macam situasi dan berganti-ganti lingkungan sesuai dengan kebutuhan individu. Pada titik inilah habitus menjadi semacam perantara antara individu dengan setting sosial yang dihadapi oleh individu dan pada pengertian ini, habitus menjadi sesuatu yang bersifat transposeable.
Selain habitus, konsep Field atau ranah yang merupakan hasil pemikiran Bourdieu ialah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer, 1996:524). Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauaan individu/aktor. Field mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial yang mana realitas sosial dipandang sebagai sebuah topologi (ruang) yang saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di samping itu, field atau ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan intersubjektif antara individu. Melainkan kumpulan sistem terpola dari kekuatan-kekuatan objektif, yaitu hubungan-hubungan historis antara posisi-posisi yang terbentuk dalam pola-pola tertentu dari kekuasaan (power) , atau juga titik-titik pertemuan antar individu yang memiliki minat, ataupun budaya yang sama. Dalam hal ini individu dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah dan posisi objektifnya
Di samping itu, ranah dipandang sebagai sebuah arena pertarungan dengan kata lain ranah merupakan teritorial yang diperjuangkan. Field dilihat sebagai pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (modal ekonomi , modal sosial , modal kultural , modal simbolik ) digunakan dan di-share kepada yang lainnya. Tidak hanya itu, struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk dari aktor (baik itu individu atau kolektif) (Ritzer, 1996:525). Karena itu, posisi obyektif dari individu ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya pada relasinya dengan individu lain, pola hubungan yang terbentuk pada pengertian ini dapat berupa dominasi, subordinasi, maupun homologi. Kesatuan dari berbagai macam ranah akan membentuk ruang sosial yang biasa disebut dengan masyarakat.
Besaran dari berbagai macam modal yang dimiliki individu dan interaksinya dengan individu lain sebagai agen akan menentukan posisi objektifnya didalam ranah. Pemikiran ini kemudian akan berimplikasi terhadap bahwa kepemilikan modal yang besar akan lebih memiliki dominasi posisi objektif dalam hubungannya dengan individu lainnya yang mempunyai kepemilikan modal lebih kecil.
Terdapat beberapa penjelasan mengenai besar kecilnya modal, menurut Haryatmoko (2003:12-13) besar dan kecilnya kepemilikan terhadap modal ditentukan oleh tiga hal, yaitu:
1. Kepemilikan agen atas modal (sosial, ekonomi, kultural, dan simbolik), dengan pengertian bahwa semakin banyak jenis modal yang dimiliki maka semakin besar pula modal yang dimiliki.
2. Semakin banyaknya (jumlah) yang dimiliki agen pada suatu modal maka dapat dikatakan bahwa agen tersebut memiliki modal yang besar. Misalnya saja seseorang yang ahli dalam bermain basket dan juga ahli dalam bermain sepakbola dapat dikatakan mempunyai modal yang lebih besar daripada seseorang yang hanya ahli bermain basket.
3. Bobot relatif dari suatu satu jenis modal yang sangat bergantung kepada karakteristik ranah. Misalnya saja dalam ranah pertemanan, maka modal sosial menjadi bobot yang penting dan paling tinggi. Sedangkan dalam ranah konsumsi, peneliti berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang dapat berkebalikkan. Seperti seorang manajer yang suka dengan fotografi mempunyai kamera Cannon automatis dengan lensa besar yang dapat memfoto dengan detil tetapi tidak mempunyai skill maka tidak akan dihargai lebih daripada bawahannya yang memiliki skill fotografi lebih dan hanya memiliki kamera manual yang istilahnya sudah jadul. Tetapi pada kasus lain, manajer yang memakai laptop apple keluaran MacIntosh terbaru untuk melakukan pekerjaannya tentunya akan memiliki bobot yang lebih besar daripada atasannya yang hanya memakai laptop acer untuk bekerja.
Kembali pada penjelasan mengenai ranah, sebagai arena pertarungan, ranah juga berfungsi untuk mempertukarkan modal-modal yang dimiliki agen dan juga sebagai arena untuk memperebutkan posisi objektif. Dalam pengertian mempertukarkan modal, Bourdieu berpendapat bahwa:
The various types of capital can be exchanged for other types of capital-that is capital is convertible (Bourdieu, 1984)
Kemudian Bourdieu juga menjelaskan bahwa modal yang memiliki nilai paling tinggi untuk dipertukarkan adalah modal simbolik. Modal ini menjadi paling baik untuk dipertukarkan karena kemampuannya untuk mendefinisikan, merepresentasikan melalui kekuasaan simbolik, untuk kemudian memperoleh keuntungan pada berbagai macam hal, seperti ekonomi misalnya, yang kemudian memperkuat kembali posisinya didalam posisi objektifnya dalam ranah.
Sedangkan perebutan posisi objektif didalam ranah diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik atau symbolic struggle, yang merupakan pertarungan antara agen yang memiliki posisi dominan dengan agen yang memiliki posisi dibawahnya dalam suatu ranah, dimana keduanya akan saling memproduksi wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dan memperlemah posisi subjektif agen lainnya. Menurut Bourdieu sendiri, wacana ini merupakan praktik sosial yang merupakan hasil dari dialektika antara habitus dan ranah.
Dalam pembahasaan Bourdieu, wacana yang diproduksi agen tersebut dinamakan sebagai doxa, yaitu wacana dominan yang memiliki keabsahan dalam suatu ranah dan didukung oleh agen yang dominan. Dalam pertarungan simbolik, dimana agen saling memproduksi wacana, maka agen yang memiliki posisi objektif lebih tinggi akan memproduksi orthodoxa, sedangkan agen yang berada pada posisi objektif lebih rendah akan memproduksi heterodoxa yang keberadaannya menentang doxa.

Dari dua konsep yang telah dijelaskan, Bourdieu ingin melihat bahwa fokus perhatiannya ialah relasi antara habitus dan ranah dalam konteks interaksi struktur-agen. Relasi ini, di satu pihak menjelaskan bahwa ranah mengkondisikan habitus, sedangkan di pihak lain mempunyai pengertian yang sebaliknya dimana ranah yang dikondisikan oleh habitus yang memiliki makna dan arti. Dan untuk selanjutnya dari relasi antara aktor/individu dengan ranah (field-habitus) akan menciptakan praktik/practice yang didasari oleh kebutuhan sosial.
Melalui penjelasan di atas dapat dilihat field (ranah) sebagai sebuah struktur sedangkan habitus diibaratkan agen. Terjadi hubungan yang dialektis dimana akan terjadi perulangan (kontinuitas) pada habitus dalam menciptakan sebuah ranah (struktur) dalam masyarakat.

Jumat, 18 Februari 2011

Agama dan Globalisasi di Bali

Agama dan Globalisasi di Bali
Pendahuluan
Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral, yakni benda-benda yang terpisah dan terlarang- kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral(Fu Xie, Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme). Sedangkan menurut teori fungsional, fungsi agama adalah menyediakan dua hal, yaitu suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti dimana deprivasi dan frustasi dapat dialami senbagai sesuatu yang mempunyai makna, yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia yang mempertahankan moralnya.







Bagan 1.1 Bentuk solidaritas organik didalam masyarakat.
Dalam suatu masyarakat, biasanya agama sebagai salah satu fungsi dalam sistem masyarakat, bertemu dengan adat. Posisi agama dan adat pada masyarakat adalah sama, keduanya juga mempunyai kesamaan fungsi dan karakteristik yaitu untuk mengatur perilaku masyarakat penganutnya, dan juga sifatnya yang eksternal dan memaksa.
Interaksi antara adat yang merupakan produk dari masyarakat dan agama yang merupakan hasil penyebaran agama, dapat berjalan dengan baik pada konteks masyarakat terutama pada masyarakat Bali. Misalnya, dalam masyarakat Bali dikenal suatu sistem kasta, dan upacara-upacara keagamaan yang merupakan budaya agama Hindhu, namun bersamaan dengan budaya agama Hindhu tersebut adat-adat di Bali tetap dapat dilaksanakan dengan baik yang dicontohkan dengan pakaian adat Bali yang dipakai ketika upacara keagamaan dilakukan, dan sebagainya.
Namun, pada konteks masyarakat kontemporer, agama dan adat mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama dan adat mereka. Hal ini, terutama karena keduanya yang bersifat irasional . Dalam paper ini hanya akan dibahas mengenai fungsi agama dalam menanggapi fenomena globalisasi di Bali.

Pembahasan
Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak, seperti sorga, moksha dan nirvana. Karena itu, tujuan-tujuan ini mesti mendapatkan penafsiran yang membumi, yaitu bagaimana membumikan sorga dan moksha tersebut -- yang dalam bahasa Bali sering disebut sebagai suka tanpa wali duka
-I Putu Gede Sutarya-
Seperti yang terlihat sekarang, Bali merupakan salah satu tujuan utama turis-turis luar negeri maupun turis lokal, hal ini menyebabkan pengeroposan agama pada masyarakat Bali, terutama karena keduanya yang bersifat irasional (arus modernisasi menyebabkan masyarakat yang terkena dampaknya menjadi lebih rasional). Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
Fenomena di Bali Dalam Perspektif Parsons
Dalam teori fungsionalisme strukturalis Talcott Parsons , ada empat fungsi dalam sistem “tindakan” yang dikenal dengan skema AGIL. Yang dimaksudkan dengan fungsi disini adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem . Fungsi ini menurut Talcott Parsons dibutuhkan oleh semua sistem secara bersama-sama untuk dapat bertahan (survive), meskipun begitu keempat fungsi ini tidaklah nyata melainkan unit analisis yang dipakai Parsons. Empat fungsi ini adalah : Adaptation (fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem tersebut), goal attainment (fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya), integration (fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka mengatur hubungan bagian-bagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-aktor didalamnya), dan latency (fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, pada tingkat individu maupun pola-pola kultural).
Sistem Kultural (Latency) Sistem Sosial (Integration)
Organisme Perilaku (Adaptation) Sistem Kepribadian (Goal Attainment)


Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan Umum
Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.
Menurut Parsons juga, masalah mengenai fungsionalisme stuktural dijawab dengan asumsi sebagai berikut :
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan-diri atau keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5. Sistem memelihara batas-batas dalam lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
7. Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Dari teori struktural fungsional tersebut, kita dapat melihat mengenai fenomena agama yang terjadi di Minangkabau dan Bali. Ketika agama mulai mengeropos akibat adanya arus modernisasi yang mempengaruhi masyarakatnya, maka disitulah agama yang tergabung dalam sistem masyarakat Bali melakukan mekanismenya terhadap gangguan yang datang dari eksternal tersebut. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga nilai-nilai agama dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam
Asumsi ketujuh dari Parsons, lebih jauh lagi, menjelaskan mengenai bahwa pada suatu struktur masyarakat yang telah mapan, maka sistem masyarakat Bali akan tetap memelihara keseimbangannya dengan cara menyesuaikan dari dalam. Agama, yang dalam pemahamannya bersifat irasional, namun dalam konteks mempertahankan keberadaannya pada masyarakat Bali berintegrasi sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya yang terkena dampak dari globalisasi dan segala sesuatu yang menyertainya. Jadi, disini dapat disimpulkan bahwa agama yang telah mapan berintegrasi dalam sistem masyarakat Bali, kemudian berfungsi untuk mencangkokkan budaya yang dibawa dalam globalisasi.
Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat, terutama dalam kasus ini, agama Hindhu di Bali. Nilai-nilai dan norma-norma yang tersirat dalam suatu ajaran agama mulai digali kembali agar masyarakat Bali sendiri menyadari pentingnya peran agama dalam kehidupan sehari-hari sehingga keduanya dapat tetap eksis. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.












Penutup
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral.
2. Pada konteks masyarakat kontemporer, agama mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama mereka.
3. Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak
4. Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
5. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali dengan cara menyesuaikan dari dalam.
6. Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.

Daftar Pustaka
Fu Xie. Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme (2009)
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Modern (2007).
I Gede Sutarya. GALUNGAN-KUNINGAN, MERASIONALKAN TUJUAN AGAMA (2006).
I Gede Sutarya . NYUPAT DOGMATISME MENUJU RASIONALISME (2007).
Thomas F.O`dea. Sosiologi Agama ‘Suatu Pengenalan Awal’

Kristenisasi Dalam Pandangan Durkhemian

Pendahuluan
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajaklah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah, Aku menyertai Kamu senantiasa sampai akhir zaman.
Mathius 28:19-20

Kristenisasi adalah suatu gerakan keagamaan. Gerakan ini muncul akibat kegagalan Perang Salib . Berupaya menyebarkan agama krsiten ketengah bangsa-bangsa di dunia. Terutama di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia.Gerakan ini dimulai sejak abad ke-15 Paus di Roma memberi tugas kepada misionaris bangsa Portugis dan Spanyol untuk menyebarkan agama Katholik. Kemudian bangsa penjajah pun tertarik untuk menyebarkan ajaran agama Kristen Katholik dengan mengirimkan para misionaris di negeri-negeri jajahannya.
Sejarah Kristenisasi ini dimulai sejak masuknya bangsa Portugis ke Maluku yang saat itu digerakkan oleh seseorang misionaris bernama Franciscus Xaverius(1506-1552), ia merupakan orang Portugis yang menyebarkan agama Kristen Katholik dengan berkeliling ke kampung-kampung dengan membawa lonceng ditangan untuk mengumpulkan orang-orang untuk diajarkan agama. Gerakan ini(Kristenisasi) sempat tersendat karena terbunuhnya Sultan Hairun, yang menyebabkan kebencian rakyat Maluku terhadap bangsa Portugis.
Jatuhnya Maluku ke tangan Belanda kemudian menggantikan kegiatan penyebaran agama Katholik menjadi penyebaran agama Kristen Protestan . Latar belakang Belanda menyebarkan agama Kristen Katholik karena pada abad ke-17 gereja di negeri Belanda mengalami perubahan, agama Katholik yang semula menjadi agama resmi negara diganti dengan agama Kristen Protestan. Sehingga pemerintah Belanda melarang pelaksanaan ibadah agama Katholik di muka umum dan menerapkan anti Katholik, termasuk di tanah-tanah jajahannya. Di Indonesia sendiri, VOC(berdiri tahun 1602), mendapat kekuasaan dan tanggung jawab memajukan agama. VOC mendukung penyebaran agama Kristen Protestan dengan semboyan “siapa punya negara, dia punya agama”, kemudian VOC menyuruh penganut agama Katholik untuk masuk agama Kristen Protestan. VOC turut membiayai pendirian sekolah-sekolah dan membiayai upaya menerjemahkan injil ke dalam bahasa setempat. Di balik itu para pendeta dijadikan alat VOC agar pendeta memuji-muji VOC dan tunduk dengan VOC.
Agama Kristen Katholik kembali mendapatkan tempatnya ketika Daendels berkuasa. Daendels memberikan hak yang sama terhadap agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Pada tahun 1889, gerakan Kristenisasi berlanjut, dimana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891. Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggl 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 168 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak diantara dua batang pohon “sono”. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono .
Kristenisasi kemudian berlanjut hingga sekarang ini, dan berkembang pesat pada awal abad ke-20, tercatat kenaikan angka penganut agama Katholik dan diangkatnya Uskup Agung pertama di Indonesia pada tahun 1940 yaitu Romo Agung Albertus.

1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari
Pertambahan a. orang yang dibaptis 38 104 133 209 354 280 283 303 345 277
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 16 8 2
c. yang pindah ke paroki ini 241 127

Pengurangan a. umat yang meninggal 11 19 12
b. umat yang pindah ke paroki lain 77 27 112
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482 5637
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 802 917 954 1066 1197 1312 1430 1520 1622 1668

Penerima Komuni I 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
0 58 0 80 64 42 49 40 203 203
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 5637 5922 6133 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari 1668 1663 1722 1910 1961 2062 2173 2204 2432 2643
Pertambahan a. orang yang dibaptis 279 322 304 330 300 341 257 302 290 334
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 3 6 4 3 20 27 5 4
c. yang pindah ke paroki ini 136 197 12 137 1 233 333

Pengurangan a. umat yang meninggal 24 22 21 34 31 4 7 11 16 23
b. umat yang pindah ke paroki lain 109 84 179 456 22 58 57 98 65 294
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 5922 6144 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838 8076
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 1663 1722 1090 1961 2062 2173 2204 2432 2643 2722

Penerima Komuni I 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
202 62 57 79 84 74 79 88 79 43

Perkembangan Jumlah Umat di Paroki Kedoya, Jakarta Selatan
Dari data diatas, dapat dilihat jumlah perkembangan umat agama Kristen Katholik di Paroki Kedoya dari tahun 1986 s/d 2005 yang menunjukkan terus menaikknya jumlah umat bila dibandingkan pengurangannya.
Kerangka Teori dan Pembahasan
Dalam pembahasan mengenai agama, Emile Durkheim berargumen bahwa praktek agama terkait dengan konsep sosiologi yaitu cara bertindak yang dipengaruhi fakta sosial, dimana menurut Robert M. Z. Lawang, fakta sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa individu dari luar, atau setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas dari manifestasi individu. Cara bertindak dibagi menjadi dua: fiks (diatur norma yang bersifat eksternal, memaksa dan umum), dan tidak fiks (diatur oleh norma kelompok yang sifatnya sesaat). Secara garis besar, konsep agama menurut Durkheim digambarkan dengan skema sebagai berikut







Bagan Konseptual Agama Durkheim
Bila kita menggunakan kerangka teoritik diatas, maka dapat dianalisis mengenai perkembangan agama Kristen Katholik di Indonesia melalui Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris sesuai dengan penjabaran diatas.
Kitab Suci (Bible) sebagai benda yang dianggap suci bagi umat agama Kristen Katholik memberitakan adanya kedatangan Juru Selamat yang bernama Yesus Kristus yang merupakan Anak Allah dan turun sebagai manusia untuk menebus dosa manusia. Hal ini dipercayai bagi penganutnya dan menjadi suatu sistem kepercayaan. Dalam Kitab Suci, selain mengabarkan kedatangan Mesias, juga mewartakan mengenai ajaran-ajaran Yesus, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para murid-Nya (12 rasul) yang dimuat pada Perjanjian Baru. Sedangkan pada kitab Perjanjian Lama berisikan mengenai catatan sejarah dan ajaran sebelum datangnya Yesus Kristus.
Pada Kitab Suci juga menjelaskan bahwa penyebaran ajaran-Nya ini perlu untuk dilakukan, dan juga untuk membaptis semua orang dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat 28:19-20), ayat inilah yang menjadi dasar dari praktek resmi Kristenisasi oleh para misionaris. Para misionaris juga melakukannya karena menurut Kitab Suci mereka semua disertai oleh Yesus sendiri sampai akhir zaman yang berarti mereka mendapatkan keselamatan pada akhirnya.
Dalam beberapa hal, konsepsi Durkheim mengenai agama dapat menjelaskan mengenai gejala Kristenisasi di Indonesia yang dilakukan oleh para misionaris tersebut. Maka dalam hal ini bagan konsepsi Durkheim dapat dibuat sebagai berikut:







Bagan Konseptual Agama Durkheim yang disesuaikan oleh penulis
Dari bagan ini dapat dilihat bahwa yang menjadi pusat adalah Kitab Suci yang berisikan ajaran mengenai Yesus sebagai Juru Selamat bagi umat Kristen Katholik. Ajarannyapun juga meliputi penyebaran agama Katholik sehingga ajaran inipun menjadi fakta sosial yang mengatur cara bertindak dari para penganutnya dalam hal ini adalah para misionaris yang mengajarkan mengenai agama kepada penduduk Indonesia.
Respon
Meskipun konsepsi Durkheim ini dapat menjelaskan gejala umum mengenai agama, namun konsepsi ini gagal dalam menjelaskan peran dari state (pemerintah) dalam hal penyebaran agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama merupakan suatu sistem kepercayaan terpadu dan prakteknya berhubungan dengan benda suci. Namun yang terjadi di Indonesia, praktek tersebut mendapat campur tangan pemerintah pada saat itu, yaitu VOC dan dilanjutkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa Kristenisasi sempat terhambat akibat dijajahnya Indonesia oleh Belanda yang kemudian melarang kegiatan agama Kristen Katholik dan menjalankan penyebaran agama Kristen Protestan. Kemudian juga dijelaskan bagaimana praktek ini dapat berjalan kembali setelah Daendels berkuasa. Maka dari sini dapat dilihat mengenai peran pemerintah dalam kegiatan beragama. Hal ini juga merupakan pola-pola umum yang terjadi pada negara-negara yang pernah dijajah, sehingga kebanyakan negara yang pernah dijajah akan memiliki agama, baik mayoritas maupun minoritas, dari negara penjajahnya