"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Kamis, 27 Mei 2010

Belajar Dari Cunthel

Dusun Cunthel termasuk salah satu daerah wisata Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tepatnya, di lereng Gunung Merbabu, dan Cunthel merupakan wilayah kabupaten Semarang yang paling selatan dengan ketinggian + 1700 m dari permukaan laut. Dusun Cunthel merupakan perbatasan antara Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Magelang. Luas tanah Dusun Cunthel sekitar 53,7, terdiri dari 47,3 Ha tanah pertanian dan 9,4 Ha tanah pekarangan. Maka dari itu, mata pencarian utama dari penduduk Dusun Cunthel ini adalah sebagai petani (268 jiwa), disamping itu ada sebagian pegawai negeri (6 jiwa) dan swasta (51 jiwa). Hampir seluruh petani di Dusun Cunthel ini menanam jenis tanaman sayur-sayuran seperti wortel, kol, bawang, sawi putih, dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan jumlah persediaan air yang mengalir dari gunung hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup-sehari-hari, oleh karena itu alih-alih menanam padi yang membutuhkan air banyak maka dominasi pertanian disini adalah sayur-mayur, pemilihan penanaman sayur-mayur pun juga tidak lepas dari daerahnya yang terletak di dataran tinggi

Teknik pertanian di Dusun cunthel ini kebanyakan masih menggunakan cara non organik, seperti penggunaan bahan kimia dalam pertanian pupuk pabrik dan pestisida, namun para petani di dusun ini tidak menggunakan mesin-mesin seperti traktor, dikarenakan kondisi geografisnya yang tidak memungkinkan. Penggunaaan bahan kimia pengusir hama menjadi pilihan utama disini. Para petani disini masih belum dapat sepenuhnya berpaling dari tawaran hasil pertanian yang melimpah dan kebanyakan dari mereka memilih mengacuhkan kerusakan alam yang terjadi. Apalagi dengan adanya efek ketergantungan yang menjadikan petani hanya percaya pada pestisida dan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil tani mereka. Rusaknya struktur biologi tanah menjadi perhatian khusus mengenai wacana kerusakan lingkungan yang gencar dibicarakan oleh penduduk dunia, termasuk di Dusun Cunthel. Berdasarkan informasi yang didapat penulis saat melakukan penelitian ini, pernah dilakukan penelitian mengenai tanah oleh tim dari Universitas Gajah Mada, bahwa tanah di dusun ini dalam jangka waktu 20 tahun akan rusak apabila tehnik pertanian non-organik tetap dipertahankan.

Oleh karena itu, sekelompok petani yang menamakan diri mereka sebagai kelompok tani MAJU, melakukan berbagai usaha untuk merubah pola pertanian yang dilakukan di Dusun Cunthel. Kelompok tani ini didukung oleh lembaga SINODE dari Jerman melalui Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) yang bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan memberikan penyuluhan mengenai dampak buruk dari penggunaan bahan kimia dalam pertanian serta tehnik untuk menanggulanginya, yaitu pertanian organik. Menurut Rm Agatho Elsener dalam artikel Agatho Organic Farm, mengartikan organik sebagai “satu unit yang terdiri atas bagian-bagian yang mengarah pada kepentingan bersama. Semua di alam ini diciptakan untuk bersama, bukan untuk diri sendiri. Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri berarti berlawanan dengan alam, berlawanan dengan Pencipta. Jika setiap orang mulai memikirkan yang lain)bersikap oragnik), maka yang lain akan memikirkan dia juga.” Sedangkan kelompok tani MAJU beranggapan bahwa sayuran organik, yang mereka tanam, akan lebih baik untuk kesehatan diri sendiri dan orang lain yang memakannya, serta lebih jauh lagi untuk menjaga unsur hara yang ada didalam tanah dan pada akhirnya menyelamatkan tanah pertanian mereka. Terbentuknya kelompok Tani ini juga serta merta membawa seperangkat ide baru mengenai pertanian dengan berorientasi pada isu global, yaitu kerusakan ekologi.Berdirinya kelompok tani organik di dusun Cunthel diharapkan mampu merubah pola bertani masyarakat disekitarnya dan juga agar dapat menyelamatkan kondisi tanah mereka.

Namun, banyak hal yang menjadi kendala bagi kelompok tersebut dalam merubah pola bertani masyarakat. Salah satu kendala para petani tidak merubah pola bertani mereka ini disebabkan mereka lebih memprioritaskan hasil akhir berupa kuantitas daripada kualitas. Selain itu pemasaran dari produk organik pun masih sulit karena harganya yang lebih mahal dan bentuknya yang kalah menarik (bentuk sayuran organik biasanya ‘bolong-bolong’ sedangkan yang non-organik lebih ‘mulus’) dari produk non-organik. Pada akhirnya penjualan produk organik tersebut menjadi kendala ekonomi dimana para petani di Dusun Chuntel yang walaupun mengetahui tanahnya akan rusak dalam jangka waktu 20 tahun tersebut, menjadi terpaksa untuk tetap menggunakan bahan-bahan kimia agar hasil pertanian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pemasaran dari produk organik dari dusun Cunthel ini baru dapat dipasarkan sekitar 30% dari hasil tani keselruhan itupun sudah melalui pasar di Salatiga yang disediakan lembaga SINODE dan di GKJTU Hal ini yang kemudian mengakibatkan sosialisasi untuk merubah tata cara bertani oleh kelompok tani MAJU sendiri menjadi organik terhambat.

Usaha merubah cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani MAJU di Dusun Cunthel memang masih belum lama, kelompok ini baru berjalan sekitar dua tahun, dan masih terus berkembang, pun sekarang ini jumlah anggota mereka juga masih 22 petani. Sampai sekarang usaha tersebut masih gencar dilakukan oleh mereka sampai tujuan kelompok ini, yang tersirat dalam nama MAJU dan dijelaskan oleh Pak Karli yang merupakan ketua dari kelompok ini, yaitu menghasilkan hasil pertanian yang Mantap, Aman untuk dikonsumsi, bertani secara Jujur, sehingga hasilnya dapat dinikmati untuk Umum.

Artikel ini dimuat dalam Newsletter Lantan Bentala edisi 65

Perspektif Teoritis Sosiologi Pembangunan

TEORI MODERNISASI DAN KETERGANTUNGAN

Beberapa gagasan teori modernisasi mengenai perubahan sosial yaitu perubahan terjadi secara bertahap dan linear dari masyarakat primitif menuju masyarakat modern beermodelkan masyarkat Amerika Serikat dan Eropa Barat (Negara Maju), terjadi proses homogenisasi, serta terjadi perubahan progresif dalam jangka waktu yang panjang. Gagasan modernisasi ini mendapat banyak kritik, terutama dalam landasan empiris karena bertentangan dengan fakta historis dari sudut landasan teoritis berdasarkan asumsi yang tak dapat dipertahankan[1]. Kritik-kritik tajam ini kemudian memunculkan teori-teori baru yang mengungkapkan gagasan yang berbeda untuk menjelaskan gejala perubahan sosial dan ekonomi terutama yang terjadi dalam Negara Dunia Ketiga. Teori Dependensia berdiri di posisi sebaliknya, dimana teori dependensia meniktiberatkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara dunia ketiga. Pada review ini teori dependensia diambil dari Theonio Dos Stantos yang membahas mengenai struktur ketergantungan Negara Dunia Ketiga dengan Negara maju dengan unit analisis negara bangsa. Namun, Immanuel Wallerstein menganggap bahwa baik teori modernisasi maupun teori dependensia tidak dapat menjelaskan fenomena yang terjadi antara negara dunia ketiga dan negara maju dikarenakan lingkupnya yang terlalu sempit, maka dari itu, untuk dapat memahaminya harus menganalisis sistem ekonomi dunia. Sehingga Wallerstein mempelopori teori sistem dunia.

I.1 Teori Ketergantungan (Dependence Theory)

I.1.1 Structure of Dependence (Thetonio Dos Santos)

Pada bagian ini, Thetonio Dos Santos ingin memperlihatkan bagaimana struktur dari ketergantungan yang terjadi pada kasus Amerika Latin, kemudian ia juga ingin menunjukkan relasi dari ketergantungan dari negara-negara tersebut yang disubjekan kepada tipe dari struktur internasional dan internal dan lebih lanjut lagi mempertahankan mereka dalam posisi ketergantungan. Untuk itu penting bagi kita untuk melihat negara-negara tersebut sebagai bagian dari sistem ekonomi yang lebih luas lagi, relasi yang berbasiskan hubungan yang monopolistik terhadap modal dalam skala yang besar, kontrol terhadap pusat finansial dan ekonomi terhadap bagian lainnya, kepada monopoli terhadap teknologi kompleks yang menyebabkan pembangunan pada level internasional dan nasional yang tidak seimbang dan terkombinasikan.

Konsep dari ketergantungan (dependence), menurut Thetonio, dapat memperlihatkan kepada kita bagaimana situasi internal dari negara-negara Amerika Latin tersebut sebagai bagian dari dunia ekonomi global. Konsep ketergantungan ini, yang termasuk kedalam teori pembangunan berusaha mencari penjelasan atas situasi dari negara-negara belum berkembang (underdeveloped countries) sebagai produk dari kelambatan atau merupakan kegagalan untuk megadopsi pola dari karakter effisiensi dari negara berkembang. Karena itu ada tiga hal yang menjadi perhatian dari Thetonio dalam menganalisa relasi dari ketergantungan untuk mengerti batasan struktral yang fundamental dalam pembagunan ekonomi:

1. Perkembangan industri bergantung kepada sektor eksport untuk foreign currency membeli input yang dimanfaatkan oleh sektor industri. Konsekuensi yang paling utama dalam aspek ini adalah membatasi perkembangan secara ekonomi dari pasar internal oleh konservasi relasi mundur dari produksi dan menandakan, secara politis, pemeliharaan kekuasaan oleh oligarki tradisional

2. Perkembangan industri sangat dikondisikan oleh fluktuasi keseimbangan dari pembayaran, hal ini menyebabkan defisit kepada relasi dari ketergsntungan itu sendiri. Penyebab defisit ini ada 3, yaitu:

a. Relasi dari perdagangan yang terdapat pasar internasional yang sangat termonopoli, dan cenderung untuk menurunkan harga dari bahan mentah dan menaikkan harga dari produk industri.

b. Dari alasan yang sebelumnya, modal asing memegang kendali terhadap banyak sektor dinamis dan mendapatkan banyak keuntungan, konsekuensinya, modal yang terkumpul sangat tidak baik kepada negara yang bergantung (dependent countries).

c. Kemudian, hasilnya adalah pembiayaan luar negeri menjadi penting dalam dua bentuk: untuk menutup defisit, dan untuk membiayai pertumbuhan dengan cara meminjam untuk menstimulasikan investasi dan untuk mendukung surplus ekonomi internal.

3. Pada akhirnya, perkembangan industri menjadi sangat terkondisikan oleh monopoli secara teknologi oleh imperialis pusat, negara yang belum berkembang bergantung pada mesin impor dan bahan mentah untuk mengembangkan industri mereka. Baran-barang tersebut biasanya dimiliki dan dipatenkan oleh perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar tersebut tidak menjual mesin-mesin, melainkan merubah bahan mentah menjadi barang-barang konsumsi/siap pakai dan mengkonversikannya menjadi modal eqn mengintroduksikan mereka dalam bentuk investasi mereka sendiri.

Dalam realitasnya, Dos Santos menjelaskan, kita dapat mengerti mengenai apa yang terjadi pada negara belum berkembang hanya ketika kita melihat mereka berkembang dalam kerangka dari proses produksi dan reproduksi kebergantungan. Sistem ini bersifat kebergantungan karena mereproduksi sistem yang produktif yang mana pembangunan dibatasi oleh relasi dunia yang mengarahkan kepada: perkembangan pada sektor ekonomi tertentu, perdagangan dalam kondisi yang tidak seimbang, untuk kompetisi domestik dengan modal internasional dalam kondisi yang tidak seimbang, relasi dari pemungutan pajak dalam superexploitation kepada kekuatan buruh domestik dengan pandangan untuk membagi surplus ekonomi yang dihasilkan antara internal dan eksternal dari kekuatan dominasi.

Lebih lanjut lagi menurut Andre Gunder Frank[2], mengkonklusikan bahwa semua negara dunia ketiga, terutama pada negara-negara di Amerika Latin, akan memiliki kondisi yang lebih baik jika mereka memutuskan asosiasi, ataupun memutuskan secara total (de-linking)hubungan kepada negara imperialis pusat (USA) dan negara industri lainnya.

De-linking from the world market was the best development strategy

Frank, disini mengisyaratkan kepada suatu bentuk sosialisme pada negara-negara pheriperal. Hal ini dikarenakan kelas yang berkuasa tidak dapat diandalkan untuk membuat suatu keputusan seperti de-linking tersebut dan menyingkirkan fondasi dari generasi surplus ekonomi mereka.

I.2 Perbandingan Perspektif Modernisasi dan Dependensia

I.2.1 J. Samuel Valenzuela & Arturo Valenzuela

Valenzuela bersaudara membahas mengenai perbedaan mendasar antara perspektif modernisasi dan dependensia khususnya dalam menganalisa Negara-negara berkembang di Amerka Latin. Perspektif modernisasi dan dependensia merupakan dua teori yang bertentangan dalam menyediakan alat analisis dan kerangka konseptual untuk menjelaskan Negara-negara berkembang di Amerika latin. Perspektif modernisasi menekankan pada pentingnya sosiologi mikro seperti perilaku, nilai, sikap, dan keyakinan individu masyarakat Amerika Latin untuk menjelaskan situasi yang terjadi di Amerika Latin. Modernisasi menjadikan masyarakat nasional sebagai unit analisis utamanya. Hal ini sangat berbeda dengan perspektif dependensia yang memiliki pandangan struktural atau sosiologi makro dimana perspektif ini menitikberatkan pada moda produksi, pola perdagangan internasional, jaringan ekonomi politik antara para elit Negara pusat dan peripheral, kelompok dan kelas aliansi dan konflik, dan sebagainya. Para ahli teoritis dependensia menjadikan sistem global dan interaksi-interaksi yang terjadi dalam masyarakat internasional sebagai unit analisis utamanya.

Perbedaan yang sangat fundamental dari pandangan modernisasi dan dependensia yaitu mengenai persepsi akan “human nature”. Perspektif dependensia menyatakan bahwa perilaku manusia dalam permasalahan ekonomi bersifat “konstan”. Keinginan individu manusia sering berubah-ubah sesuai dengan konteks, perilaku manusia akan berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Desakan struktural pada akhirnya akan mengubah perilaku manusia. Pandangan perspektif dependensia ini merupakan kritik tajam kepada kealphaan teori modernisasi dalam memahami perilaku “relatif” dari manusia, dimana nilai dan keyakinan kultural merupakan hasil dari pola tindakan ekonomi. Maka dari itu, perbedaan akan persepsi “perubahan” menjadi sangat berbeda antara kedua perspektif ini. perubahan yang dimaksudkan oleh perspektif modernisasi adalah masyarakat yang menuju manusia modern yang bermodelkan para elit Negara maju dan cenderung bersifat optimis akan pembangunan yang berjalan[1]. Sedangkan, perspektif dependensia lebih bersifat pesimis karena pembangunan yang terjadi pada akhirnya adalah ketergantungan Dunia ketiga kepada Negara maju.

Dari aspek metodologis, perspektif modernisasi jauh lebih sederhana. Hal ini dikarenakan unit analisisnya pada level sosiologi mikro maka proporsi elaborasi penjelasannya lebih tepat seperti yang dilakukan oleh David McCleland. Berbeda dengan perspektif dependensia yang berada pada level sosiologi makro membuat perspektif ini lebih kepada deskripsi karena sulitnya untuk membuat eksplanasi mengenai formulasi antara jaringan elit dan relasi kekuasaan menjadi tidak jelas. Sehingga, seringkali perspektif dependensia disebut sebagai pendekatan daripada teori. Namun, perspektif dependensia ini memiliki kelebihan dalam metodologi yaitu dapat melihat lebih luas mengenai fenomena yang terjadi karena jangkauannya yang makro. Sedangkan perspektif modernisasi sulit untuk menerapkan asumsi-asumsinya karena tidak ada “validitas universal” dikarenakan fokus perhatiannya adalah nilai dan perilaku kultural manusia yang berbeda dalam setiap kelompok masyarakat.

BAGIAN II: TEORI SISTEM DUNIA

Banyak teori-teori yang telah dibuat untuk menjelaskan ketidakberkembangan dari negara-negara dunia ketiga. Menurut salahsatu pemikiran, kapitalisme telah mempenetrasikan dunia ekonomi dan ekonomi negara pheriperal secara luas dan menyediakan basis yang kuat untuk memberi penjelasan keseluruhan masalah dari ketidakberkembangan. Sedangkan menurut pemikiran lain, moda produksi kapitalishanya diserap oleh pusat ekonomi dan relasi internasional mereka dengan negara pheriperal. Dan negara pheriperal itu sendiri dikarakterkan dengan artikulasi yang kompleks dari moda produksi yang berbeda, yang kemudian menciptakan heterogenitas struktural. Terlepas dari perbedaan pemikiran tersebut, konsepsi-konsepsi tersebut berangkat dari formasi masyarakat yang individualis dan berpindah kepada sistem internasional. Sistem dunia ini, pertama kali dielaborasikan oleh Immanuel Wallerstein.

II.1 Teori Sistem Dunia (Immanuel Wallerstein)

There are today no socialist world systems in the world-economy any more than there are feudal systems because there is only one world-system. It is a world-economy and it is by definition capitalist in form.

-Wallerstein (1979:35)-

Wallerstein secara konsisten menggunakan sistem global sebagai unit analisisnya yang paling utama, dan negara-negara secara individual pada tempat kedua. Hal ini dikarenakan asumsinya mengenai prospek pembangunan bergantung pada sistem global dibandingkan struktur internal dari suatu negara, kemudian pembangunan tersebut menentukan posisi suatu negara didalam sistem ekonomi dan politik global. Sebagai gambaran atas sistem ini, Wallerstein[2] berargumen bahwa ‘kerajaan-kerajaan’ pada abad ke-19 seperti Britania Raya dan Prancis bukanlah merupakan kerajaan dunia. Mereka lebih mirip dengan negara-bangsa dengan wilayah koloni tambahan yang beroprasi dengan kerangka kerja ekonomi dunia. Bagi Wallerstein, kapitalisme dunia merupakan suatu sistem yang sangat kuat dan terdiri dari berbagai macam negara-bangsa. Dimana struktur politiknya memfasilitasi perdagangan modern untuk melindungi sistem itu sendiri, dan untuk meyakinkan bahwa keuntungan berada pada keuntungan personal. Inti dari sistem dunia ini adalah dominasi ekonomi.

Lebih lanjut lagi, ia membagi negara kedalam tiga jenis yang merupakan suatu tingkatan[3] : pusat, semi- pheriperal dan pheriperal. Setiap negara dapat mengubah posisinya keatas maupun kebawah. Namun perubahan posisi tersebut ditentukan oleh struktur dan kondisi dari sistem dunia. Negara pheriperal, secara historis, menyediakan daerah dan tenaga kerja yang berlimpah dan murah yang berupa sumber daya alam dan buruh.

Wallerstein menemukan asal-usul dari sistem dunia modern pada periode 1450-1640, dimana penaklukan ekonomi, secara pelan-pelan, menggantikan penaklukan militer dan dominasi politik. Dalam periode inilah terjadi ekspedisi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di Eropa ke Asia, Afrika, dan Amerika. Dengan fondasi kolonial ini, muncullah pembagian kerja global yang mengarah kepada pembangunan yang tidak seimbang (unequal development). Meskipun begitu, Wallerstein tidak menunjukkan kritiknya terhadap sistem dunia kapitalis melainkan lebih kepada pandangan secara konservatif mengenai dominasi dari sistem tersebut. Kemudian penggunaan terhadap konsep sistem dunia, dalam satu sisi merupakan alat analisis dan memberi penjelasan. Namun pada sisi yang lain, konsep tersebut justru mengarah kepada proses reifikasi, suatu masalah yang diidentifikasi oleh aliran Marxis, namun tidak selalu dapat dihindari .

II.2 Leslie Sklair

Leslie Sklair membagi teori sistem global ke dalam beberapa bagian : (1)imperialisme dan Neo-Imperialisme, (2) Modernisasi dan Neo-Evolusionis, (3)Neo-Marxis, (4)Teori Sistem Dunia, dan (5) Teori Moda Produksi. Teori sistem dunia yang diungkapkan oleh Leslie Sklair dalam “Sociology of The Global System” lebih kurang merupakan gagasan Immanuel Wallerstein, sehingga dalam bagian ini tidak akan dibahas kembali karena telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sklair juga sedikit membahas mengenai Transnasional Corporations (TNCs) yang terdapat dalam sistem kapitlais global.

II.2.1 Teori Imperialisme dan Neo-Imperialisme

Teori Imperialisme mencoba menjelaskan mengenai struktur sistem dunia dalam hal pergolakan kekuasaan besar dalam mencari pasar, sumber bahan mentah, penanaman modal, dan memperluas daerah kekuasaan ekonomi dan politik mereka. Peletak dasar dari teori imperialisme adalah para ahli teori Marxis seperti Lenin, Rosa Luxemburg, Hilferding, dan Bukharin. Imperialisme adalah dimana kaum berkuasa menindas sekelompok orang yang tidak memiliki kekuasaan. Maka dari itu, imperialism menyebabkan ketimpangan yang besar dimana Negara kaya akan semakin kaya dan Negara miskin akan semakin miskin. Sehingga Lenin berpendapat bahwa hanya revolusi dunia yang dapat mengakhiri lingkaran setan penindasan tersebut.

Imperialisme lama pada dasarnya adalah penguasaan politik dan ekonomi secara langsung. Pada abad ke-20 masa imperilisme telah berakhir namun penguasaan akan ekonomi lewat kapitalisme tidak berakhir. Maka dari itu, muncullah neo-imperialisme dimana Negara-negara industry maju (Negara dunia pertama) menguasai Negara agraris (Negara dunia ketiga). Keuntungan akan kepemilikan modal dan alat produksi membuat Negara dunia pertama menguasai sektor ekonomi.

II.2.2 Teori Modernisasi dan Neo-Evolusionis

Teori modernisasi dalam sistem global pada dasar merupakan pembedaan antara tradisional dan modern. Gagasan utama dari teori ini adalah perkembangan dari seputar pertanyaan mengenai sikap dan nilai. Masyarakat tradisional menjalankan pemikiran tradisional, tidak menerima sebuah pembaruan, dan terpengaruh oleh hal-hal yang gaib dan agama, sedangkan masyarakat modern berpikir kedepan, berani untuk mencoba hal-hal yang baru, didasarkan atas pemikiran rasional dan pengalaman. Max Weber menyatakan keterkaitan antara meningkatnya kapitalisme dengan etika Protestan dan menunjukkan bagaimana sistem kepercayaan lain menghalangi kemunculan masyarakat modern. Teori Modernisasi yang diungkapkan oleh Weber mungkin kuat dengan pembuktiaanya, namun secara akademik teori yang diungkapkan oleh Weber tidak lagi relevan. Sebagai revisi akan teori modernisasi muncul teori neo-modernisasi yang berlandaskan penelitian kebangkitan Asia Timur dan dampak dari Confusianisme serta implikasinya terhadap Eropa Timur. Tidak relevannya teori modernisasi kemungkinan disebabkan oleh dua hal, pertama pembedaan antara tradisional dan modern terlalu kasar untuk digunakan pada level teoritik. Kedua, teori modernisasi dikritik mengabaikan peran dari kelas sosial dan kepentingan yang dapat mendukung ataupun menghambat pembangunan.

Gagasan dari Neo-evolusionisme hampir sama dengan teori modernisasi. Neo-evolusionisme menggunakan analisis konteks histori dalam membedah masyarakat tradisional dan modern, teori ini menyatakan masyarakat modern lambat laun akan terjadi dari tahap tradisional melalui proses diferensiasi sosial. Misalnya, dalam masyarakat tradisional fungsi politik, ekonomi, dan pendidikan dijalankan dibawah satu institusi saja, sedangkan didalam masyarakat modern antara struktur sosial dan organisasi harus dipisahkan untuk menjalankan fungsi politik, ekonomi, dan pendidikan. Secara singkatnya, masyarakat merubah struktur masyarakat sederhana menjadi lebih kompleks dengan adanya diferensiasi kerja. Disebut neo-evolusionisme dikarena teori ini menentang pandangan teori evolusionisme yang menyatakan bahwa masyarakat tradisional akan berkembang dengan satu arah (unilinear) menuju masyarakat modern. Para ahli neo-evolusionisme beranggapan banyak jalur yang dapat ditempuh untuk menuju masyarakat modern seperti jalan kapitalis melalui demokrasi plural yang terjadi di Amerika Serikat. Pada tahun 1950an dan 1960an, teori-teori para fungsionalis seperti modernisasi dan neo-evolusionisme sangat dominan, namun gerakan anti-imperialisme yang terjadi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengangkat teori neo-Marxis untuk menentang dominasi Fungsionalis orthodox.

II.3 Teori Neo-Marxis

Pemahaman asli Marx pada dasarnya mengenai struktur dan proses ekonomi dari haisl analisisnya tentang kapitalisme di zamanya yang disebut sebagai kapitalisme kompetitif. Dimana pada zaman Marx masih hidup industry kapitalis relatif kecil dan belum ada penguasaan pasar secara menyeluruh. Meskipun demikian memang Marx meramalkan bahwa aka nada kapitalisme monopoli. Oleh karena itu, Karl Marx tidak meletakkan secara sistematik mengenai sistem global, namun lebih kepada Lenin dan lainnya yang meletakkan dasar pemikiran imperialism. Teori lenin mengenai perluasan kapitalis secara umum merujuk pada posisi Marxis orthodox. Lenin berpendapat seharusnya memproses hasil mentah atau industri langsung di tempat, namun meskipun pendapatnya benar, kebutuhan akan mesin dan teknologi tetap akan menimbulkan ketergantungan karena alat-alta tersebut harus di impor.

II.4 Teori Moda Produksi

Teori moda produksi diungkapkan oleh sekelompok orang yang mengaku Marxis namun menolak keseluruhan esensi dari teori dependensia. Teori ini menganggap bahwa prospek untuk berevolusi dapat disimpulkan berasal dari moda produksi formasi sosial (masyarakat) tertentu dan kekuatan kelas dalam perebutan kekuasaan. Teori moda produksi berpendapat bahwa hanya industrialisasi kapitalis yang dapat mendukung pembangunan dan revolusi sosial di negar dunia ketiga. Dalam teori ini, kapitalis global memiliki daya dukung yang diperlukan untuk mendorong terjadinya revolusi didalam negara dimana Trans National Corporations (TNCs) sangat aktif.

Para teoritis moda produksi ini menerapkan pendapat para Marxis ortodox, dimana komunisme hanya akan terjadi apabila kelas pekerja (proletariat) telah terorganisir dan menghancurkan kekuasaan kelas borjuis melalui revolusi anti-kapitalisme. pada akhirnya, teoritis moda produksi ini jauh lebih mirip kepada teori dependensia. Mereka berpendapat pembangunan di negara dunia ketiga terlalu banyak rintangan (baik dari dalam maupun luar) menuju industrilisasi kapitalis. Akan tetapi, pendekatan yang coba dilakukan oleh teori moda produksi merupakan kebalikan dari teori dependensia, dimana teori moda produksi menganggap bahwa industrilisasi kapitalis mungkin dapat berhasil di negara dunia ketiga. Teori moda produksi juga menyetujui bahwa TNCs merupakan satu-satunya alat yang dapat diugunakan untuk mendorong pembangunan dalam negara dunia ketiga, meskipun pendapat ini mengundang banyak perdebatan.

Secara umum, kapitalisme transnasional memberikan banyak implikasi seperti dalam ruang ekonomi, politik, dan ideology-kultural. Dalam ruang ekonomi, sistem kapitalis global kurang lebih membatasi tempat mayoritas pekerja harian di beberapa Negara. Dampak ekonomi yang lansung dirasakan adalah adanya pengurangan pekerja terutama dalam industri manufaktur.hal ini tentunya meningkatkan tingkat pengangguran. Sistem ekonomi global juga memaksa pekerja untuk bekerja dengan jam kerja yang tinggi namun dengan gaji murah. Fenomena menarik adalah terjadinya migrasi transnasional dimana masyarakat di Negara miskin bermigrasi ke Negara yang lebih maju dengan tujuan untuk memperbaiki nasib ekonomi. Sedangkan, dalam ruang politik pada sistem kapitalis global tidak ada tempat untuk kaum subordinat (kelas bawah). Para anggota parlemen yang dominan akan kelas menengah-atas jarang menyuarakan kebutuhan masyarakat miskin dan bahkan tak ada yang berani untuk menentang sistem kapitalis global. Sangat berbeda dengan yang terjadi dalam ruang ideologi cultural, dimana idelogi cultural dalam sistem kapitalis global ini telah merasuk dalam pemikiran dari masyarakat kelas bawah sampai dengan kelas atas. Ideologi cultural sistem kapitalis global pada dasarnya adalah mengajak manusia untuk terus menerus berkonsumsi, karena dalam pandangannya konsumerisme harus dipertahankan guna mempertahankan kehidupan.

II.2.a Trans National Corporation (TNC)

TNC banyak ditemukan dalam berbagai sektor ekonomi, mereka mempunyai fungsi daasar utama yang sama dari akumulasi kapital pada skala global, dan dalam karakter yang konsisten untuk melaksanakan starategi global demi kelangsungan pertumbuhan. Menurut Sklair, sejarah dari TNC semdiri terikat dengan sejarah dari Foreign Direct Investment (FDI). Banyak keuntungan yang kemudian dihasilkan melalui investasi ini yang diselenggarakan oleh Industri Eropa. Lebih jauh lagi, John Martinussen menerangkan bagaimana terjadinya sirkulasi resources didalam TNC, yaitu sebagai berikut.


Model1.1 a simplified model of resource circulation within a transnational corporation[4]

Model tersebut dapat dilihat sebagai urutan. Pada fase pertama, uang dalam jumlah tertentu ditransfer oleh perusahaan induk yang berada di negara industri kepada perusahaan cabang yang berada di negara sedang berkembang (developing country). Pada fase kedua dari proses ini melibatkan pembelian dari input yang diperlukan untuk proses produksi : buruh, bahan mentah, alat produksi, bahan bakar, perantara yang baik, dll. Input ini mungkin didapatkan secara lokal maupun dapat diperoleh melalui perusahaan induk. Setelah proses produksi dilakukan, yanbng merupakan syarat untuk terjadinya fase ke tiga, sirkulasi resource memasuki pada tahap keempat dimana produk tersebut dijual di pasar lokal dan internasional. Jika perusahaan cabang menjual komoditas atau jasanya terhadap perusahaan pusat, ini memberikan kesempatan bagi perusahaan tersebut untuk mentransfer resource. Komoditas dan jasa tersebut kemungkinan dijual dengan harga yang berada dibawah kendali pasar dunia. Meskipun harganya dibawah rata-rata, TNC tersebut tetap mendapatkan kesempatan untuk menransfer resource dalam bentuk kiriman keuntungan.

Refleksi Kelompok

Melalui review diatas, kita dapat melihat bagaimana para tokoh Neo-Marxist memberikan penjelasan mengenai bagaimana kapitalisme bekerja melalui negara kapitalis pusat terhadap negara dunia ketiga, melalui berbagai macam cara pandang. Pertama, Thetonio dos Santos menjelaskannya melalui struktur dari kebergantungan yang memaksa negara-negara dunia ketiga untuk tetap bergantung terhadap negara berkembang. Hal ini dilakukannya dengan mempelajari negara dunia ketiga di Amerika Selatan. Kedua, Valenzuela bersaudara menjelaskannya melalui studi yang juga dilakukan di daerah Amerika Selatan. Mereka menjelaskan mengenai perbandingan terhadap teori modernisasi dan teori dependensia dalam konteks negara-negara dunia ketiga di Amerika Selatan. Sedangkan yang ketiga, Immanuel Wallerstein memperkenalkan analisa baru dengan mendobrak teori dependensia yang mengkonsentrasikan analisanya pada negara-bangsa secara individual dan menggantinya dengan analisa secara global dengan memperhatikan bagaimana lingkungan internasional bekerja dalam membentuk struktur ketergantungan terhadap negara-negara dunia ketiga. Dan yang keempat, Leslie Sklair, menambahkannya dengan adanya Trans Nasional Corporation (TNC) yang menjadi alat dari kapitalis pusat untuk membentuk struktur dari ketergantungan tersebut.

Setelah review diatas, maka teori-teori dapat dibedakan di dalam bentuk tabel / matrix dibawah ini :

Karakteristik

Teori Modernisasi

Teori Dependensia

Teori Sistem Dunia

Unit Analisis

Perilaku/sikap individu

Negara Bangsa

Sistem Ekonomi Global

Warisan Teoritis

Teori Evolusionisme dan Fungsionalisme

Teori Marxis

Teori Neo-Marxis

Hubungan Internasional

Menganggap saling menguntungkan

Merugikan Dunia Ketiga

Terjadi kesenjangan antara Dunia pertama dan Ketiga

Pandangan akan masa depan

optimis

pesimis

pesimis

Namun ada satu kelemahan mendasar yang menjadi permasalahan dalam keempat pemikir tersebut. Mereka terlalu terpaku dalam menjelaskan fenomena ketidakberkembangannya negara-negara dunia ketiga, walaupun dengan pandangan yang berbeda. Sehingga pada akhirnya studi mereka, sebagai pemikir Neo-Marxist, tidak menghasilkan suatu cara maupun alat yang dapat digunakan untuk merubah fenomena ini. Memang Frank menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk lepas dari situasi ini adalah melakukan de-linking terhadap negara-negara berkembang tersebut, hanya saja kemudian ia tidak memberikan penjelasan terhadap apa yang harus dilakukan selanjutnya. Singkatnya, mereka justru me-reifikasi-kan keberadaan kapitalisme dan struktur ketergantungan tersebut, dan membuat seakan-akan tidak ada jalan keluar terhadap situasi ini, sehingga lebih mirip sebagai ramalan.


Daftar Pustaka

Matrinussen, John.‘Society, State & Market: A Guide To Competing Theories of Development’. London & New York: FernwooPublishing,1999.

Purdue, William D. ‘Sociological Theory’. California: Mayfield Publishing Company, 1986.

Ritzer, George. Sociological Theory. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.,2004.

Sklair, Leslie.Sociology Of The Global System. 2nd Edition, Baltimore:The Johns Hopkins University Press, 1995.

Seligson, Mitchel A. et. al, eds. Development and Under-Development:The Political Economy of Global Inequality.2nd edition, Boulder: Lynne Reinner Publisher, Inc., 1998.

Suwarsono, et. al. Perubahan Sosial dan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1991.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2008.



[1] Perubahan dalam teori modernisasi memiliki asumsi : (1)bersifat linier, dimana masyarakat yang kurang maju harus mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh masyarakat yang lebih maju, mengikuti langkah yang sama atau berdiri ditangga yang lebih rendah di escalator yang sama, (2) arah perubahan tak dapat diubah, tanpa terelakkan akan bergerak kea rah modernitas sebagai tujuan akhir proses masyarkat barat yang industrialisasi, kapitalis, dan demokratis. (3)perubahan terjadi secara bertahap, menigkat, dan tanpa gangguan, (4) proses perubahan berurutan dan tak dapat satu tahap pun dapat dilompati seperti tradisional-tradisional-modern (Piotr Sztompka, 2008:151)

[2] William D. Purdue. ‘Sociological Theory’.hlm 340

[3] John Martinussen. ‘ Society, State & Market: A Guide To Competing Theories of Development ’.hlm

[4] John Matrinussen.‘ Society, State & Market: A Guide To Competing Theories of Development ’.hlm 125




[1] Piotr Sztompka.Sosiologi Perubahan Sosial. 2008. Hlm.157.

[2] John Martinussen. ‘ Society, State & Market: A Guide To Competing Theories of Development ’. hlm 89