"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Selasa, 31 Mei 2011

Struktur-Agen
( Habitus x Capital ) + Field = Practice
-Pierre Bourdieu-
Pembahasan mengenai struktur-agen memang telah lama hadir dalam teori-teori sosiologi klasik (seperti Marx, Durkheim dan Weber). Namun pengembangan mengenai struktur-agen dilanjutkan oleh Saussure dan Levi-Strauss dengan pengembangan ilmu pengetahuan bahasa struktural yang menciptakan tradisi strukturalisme. Selanjutnya, Gidden dengan upaya mengkritisi kalangan strukturalisme dan menjembatani para aliran modern dalam menjelaskan hubungan antara struktur-agen menciptakan teori strukturasi yang memfokuskan pada pengintegrasian antara struktur-agen yang mana sebuah tindakan yang dilakukan oleh aktor/agen menyangkut penghubungan dengan struktur. Namun di lain pihak, tidak berarti bahwa struktur menentukan (determinisme) tindakan atau sebaliknya. Tokoh sosiologi yang juga ikut serta dalam upaya pengintegrasian struktur-agen ialah Bourdieu seorang tokoh sosiologi Perancis. Ia memberi label pada orientasi teoritisnya sebagai struktrualisme konstruktivis. Bourdieu melihat bahwa terdapat penggabungan antara struktur objektif yang bebas dari kesadaran dan kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau merepresentasikan mereka (perspektif strukturalisme) dengan pendirian konstruktivisme yang dapat menjelaskan asal-usul pola perspektif dan tindakan maupun struktur sosial. Dari rangkaian penjelasan teori mengenai struktur-agen, studi ini cenderung untuk menggunakan teori dari tradisi struktrualisme konstruktivis yang diwakilkan oleh Pierre Bourdieu.
Dalam penjelasan mengenai struktur-agen, Bourdieu mencoba menaggulangi apa yang dianggap kekeliruan dalam mempertentangkan antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan yang absurd antara agen (individu) dan struktur (masyarakat). Dalam mendefinisikan perspektif teoritisnya dapat dilihat dengan cara berikut:
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental individual yang, hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (dimana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini) (Bourdieu, 1990: 14).
Oleh karena itu, untuk mengakhiri dilema yang terjadi antara obejktivisme-subjektivisme atau struktur-agen, maka Bourdieu memusatkan perhatian pada praktik yang merupakan hasil dari hubungan yang dialektik antara struktur dengan keagenan. Praktik menjadi fokus perhatian guna menghindari pemikiran yang sering tak relevan yang berhubungan dengan obejktivisme-subjektivisme.
Dalam konteks struktur-agen, Bourdieu mencoba memberikan sumbangan pemikirannya lewat Habitus-Field. Konsep habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi realitas sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternaisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Dengan menggunakan skema atau pola yang telah ada aktor memproduksi tindakan mereka. Jadi, secara dialektik habitus ialah produk dari internalisasi struktur (Bourdieu, 1989:18). Namun walaupun habitus ialah struktur yang diintrenalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya. Sebab habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi dapat diadaptasi oleh aktor/individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada. Ini dikarenakan habitus bukan hanya produk dari sosialisasi dari keluarga tetapi juga dari masyarakat sekaligus pengalaman sepanjang kehidupan yang dialami (Bourdieu, 1984 : 170-172).
Pada kurun waktu tertentu, habitus merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selam masa historis yang relaif panjang:”habitus, yang merupakan produk historis , menciptakan menciptakan tindakan baik itu individu maupun kolektif yang oleh karena itu alur atau pola yang tercipta merupakan produk dari periode sejarah, dalam hal ini habitus dapat dikatakan menyaring tindakan dari seorang individu (Ritzer, 1996:523). Dan juga habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Lebih lanjut, tindakan diciptakan melalui habitus dan sebaliknya, yakni habitus adalah hasil dari tindakan yang diciptakan oleh kehidupan sosial.
Habitus, dalam rupanya, dapat berupa gaya berbicara/ dialek (misalnya ada dialek ngapak pada masyarakat Banyumas, atau medok pada masyarakat Jawa) , gaya berpakaian ( orang yang senang dengan sepakbola akan cenderung memakai seragam tim kesukaannya disaat tim tersebut menang suatu pertandingan), yang sebetulnya hal ini dilakukan oleh individu tanpa sadar, dan hal ini dikarenakan adanya habitus yang mebimbing praktik sosialnya.
Pembentukan habitus (Thompson 1991: 12) didasarkan pada beberapa pola, yaitu: inculate (penanaman), structured (terstruktur), durable (bertahan lama), generative (berkembang), serta transposeable (dapat dipindahkan). Pola penanaman terjadi pada saat individu masih pada tahap anak-anak, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran orangtua mereka. Ajaran-ajaran ini dapat berupa moral, etika, cara berperilaku dan lainnya, misalnya saja anak terakhir dari keluarga kelas atas akan mempunyai sifat yang berbeda dengan anak terakhir dari keluarga kelas bawah. Melalui hal tersebut dapat diberikan pengertian bahwa habitus ini juga dapat secara langsung memperlihatkan ataupun merepresentasikan latar belakang keluarga dari seorang individu. Hal-hal yang telah ditanamkan tersebut akan terstruktur didalam diri individu sehingga menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari diri individu menjadi berbagai macam perilaku dari individu tersebut. Dalam pengertian ini habitus telah menjadi referensi bagi tindakan yang dilakukan oleh individu dan menyebabkan habitus menjadi tahan lama. Tetapi, habitus tidak dapat selamanya tidak berubah, hal ini juga dikarenakan individu akan menghadapi berbagai macam situasi dan berganti-ganti lingkungan sesuai dengan kebutuhan individu. Pada titik inilah habitus menjadi semacam perantara antara individu dengan setting sosial yang dihadapi oleh individu dan pada pengertian ini, habitus menjadi sesuatu yang bersifat transposeable.
Selain habitus, konsep Field atau ranah yang merupakan hasil pemikiran Bourdieu ialah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer, 1996:524). Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauaan individu/aktor. Field mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial yang mana realitas sosial dipandang sebagai sebuah topologi (ruang) yang saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di samping itu, field atau ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan intersubjektif antara individu. Melainkan kumpulan sistem terpola dari kekuatan-kekuatan objektif, yaitu hubungan-hubungan historis antara posisi-posisi yang terbentuk dalam pola-pola tertentu dari kekuasaan (power) , atau juga titik-titik pertemuan antar individu yang memiliki minat, ataupun budaya yang sama. Dalam hal ini individu dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah dan posisi objektifnya
Di samping itu, ranah dipandang sebagai sebuah arena pertarungan dengan kata lain ranah merupakan teritorial yang diperjuangkan. Field dilihat sebagai pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (modal ekonomi , modal sosial , modal kultural , modal simbolik ) digunakan dan di-share kepada yang lainnya. Tidak hanya itu, struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk dari aktor (baik itu individu atau kolektif) (Ritzer, 1996:525). Karena itu, posisi obyektif dari individu ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya pada relasinya dengan individu lain, pola hubungan yang terbentuk pada pengertian ini dapat berupa dominasi, subordinasi, maupun homologi. Kesatuan dari berbagai macam ranah akan membentuk ruang sosial yang biasa disebut dengan masyarakat.
Besaran dari berbagai macam modal yang dimiliki individu dan interaksinya dengan individu lain sebagai agen akan menentukan posisi objektifnya didalam ranah. Pemikiran ini kemudian akan berimplikasi terhadap bahwa kepemilikan modal yang besar akan lebih memiliki dominasi posisi objektif dalam hubungannya dengan individu lainnya yang mempunyai kepemilikan modal lebih kecil.
Terdapat beberapa penjelasan mengenai besar kecilnya modal, menurut Haryatmoko (2003:12-13) besar dan kecilnya kepemilikan terhadap modal ditentukan oleh tiga hal, yaitu:
1. Kepemilikan agen atas modal (sosial, ekonomi, kultural, dan simbolik), dengan pengertian bahwa semakin banyak jenis modal yang dimiliki maka semakin besar pula modal yang dimiliki.
2. Semakin banyaknya (jumlah) yang dimiliki agen pada suatu modal maka dapat dikatakan bahwa agen tersebut memiliki modal yang besar. Misalnya saja seseorang yang ahli dalam bermain basket dan juga ahli dalam bermain sepakbola dapat dikatakan mempunyai modal yang lebih besar daripada seseorang yang hanya ahli bermain basket.
3. Bobot relatif dari suatu satu jenis modal yang sangat bergantung kepada karakteristik ranah. Misalnya saja dalam ranah pertemanan, maka modal sosial menjadi bobot yang penting dan paling tinggi. Sedangkan dalam ranah konsumsi, peneliti berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang dapat berkebalikkan. Seperti seorang manajer yang suka dengan fotografi mempunyai kamera Cannon automatis dengan lensa besar yang dapat memfoto dengan detil tetapi tidak mempunyai skill maka tidak akan dihargai lebih daripada bawahannya yang memiliki skill fotografi lebih dan hanya memiliki kamera manual yang istilahnya sudah jadul. Tetapi pada kasus lain, manajer yang memakai laptop apple keluaran MacIntosh terbaru untuk melakukan pekerjaannya tentunya akan memiliki bobot yang lebih besar daripada atasannya yang hanya memakai laptop acer untuk bekerja.
Kembali pada penjelasan mengenai ranah, sebagai arena pertarungan, ranah juga berfungsi untuk mempertukarkan modal-modal yang dimiliki agen dan juga sebagai arena untuk memperebutkan posisi objektif. Dalam pengertian mempertukarkan modal, Bourdieu berpendapat bahwa:
The various types of capital can be exchanged for other types of capital-that is capital is convertible (Bourdieu, 1984)
Kemudian Bourdieu juga menjelaskan bahwa modal yang memiliki nilai paling tinggi untuk dipertukarkan adalah modal simbolik. Modal ini menjadi paling baik untuk dipertukarkan karena kemampuannya untuk mendefinisikan, merepresentasikan melalui kekuasaan simbolik, untuk kemudian memperoleh keuntungan pada berbagai macam hal, seperti ekonomi misalnya, yang kemudian memperkuat kembali posisinya didalam posisi objektifnya dalam ranah.
Sedangkan perebutan posisi objektif didalam ranah diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik atau symbolic struggle, yang merupakan pertarungan antara agen yang memiliki posisi dominan dengan agen yang memiliki posisi dibawahnya dalam suatu ranah, dimana keduanya akan saling memproduksi wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dan memperlemah posisi subjektif agen lainnya. Menurut Bourdieu sendiri, wacana ini merupakan praktik sosial yang merupakan hasil dari dialektika antara habitus dan ranah.
Dalam pembahasaan Bourdieu, wacana yang diproduksi agen tersebut dinamakan sebagai doxa, yaitu wacana dominan yang memiliki keabsahan dalam suatu ranah dan didukung oleh agen yang dominan. Dalam pertarungan simbolik, dimana agen saling memproduksi wacana, maka agen yang memiliki posisi objektif lebih tinggi akan memproduksi orthodoxa, sedangkan agen yang berada pada posisi objektif lebih rendah akan memproduksi heterodoxa yang keberadaannya menentang doxa.

Dari dua konsep yang telah dijelaskan, Bourdieu ingin melihat bahwa fokus perhatiannya ialah relasi antara habitus dan ranah dalam konteks interaksi struktur-agen. Relasi ini, di satu pihak menjelaskan bahwa ranah mengkondisikan habitus, sedangkan di pihak lain mempunyai pengertian yang sebaliknya dimana ranah yang dikondisikan oleh habitus yang memiliki makna dan arti. Dan untuk selanjutnya dari relasi antara aktor/individu dengan ranah (field-habitus) akan menciptakan praktik/practice yang didasari oleh kebutuhan sosial.
Melalui penjelasan di atas dapat dilihat field (ranah) sebagai sebuah struktur sedangkan habitus diibaratkan agen. Terjadi hubungan yang dialektis dimana akan terjadi perulangan (kontinuitas) pada habitus dalam menciptakan sebuah ranah (struktur) dalam masyarakat.

Jumat, 18 Februari 2011

Agama dan Globalisasi di Bali

Agama dan Globalisasi di Bali
Pendahuluan
Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral, yakni benda-benda yang terpisah dan terlarang- kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral(Fu Xie, Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme). Sedangkan menurut teori fungsional, fungsi agama adalah menyediakan dua hal, yaitu suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti dimana deprivasi dan frustasi dapat dialami senbagai sesuatu yang mempunyai makna, yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia yang mempertahankan moralnya.







Bagan 1.1 Bentuk solidaritas organik didalam masyarakat.
Dalam suatu masyarakat, biasanya agama sebagai salah satu fungsi dalam sistem masyarakat, bertemu dengan adat. Posisi agama dan adat pada masyarakat adalah sama, keduanya juga mempunyai kesamaan fungsi dan karakteristik yaitu untuk mengatur perilaku masyarakat penganutnya, dan juga sifatnya yang eksternal dan memaksa.
Interaksi antara adat yang merupakan produk dari masyarakat dan agama yang merupakan hasil penyebaran agama, dapat berjalan dengan baik pada konteks masyarakat terutama pada masyarakat Bali. Misalnya, dalam masyarakat Bali dikenal suatu sistem kasta, dan upacara-upacara keagamaan yang merupakan budaya agama Hindhu, namun bersamaan dengan budaya agama Hindhu tersebut adat-adat di Bali tetap dapat dilaksanakan dengan baik yang dicontohkan dengan pakaian adat Bali yang dipakai ketika upacara keagamaan dilakukan, dan sebagainya.
Namun, pada konteks masyarakat kontemporer, agama dan adat mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama dan adat mereka. Hal ini, terutama karena keduanya yang bersifat irasional . Dalam paper ini hanya akan dibahas mengenai fungsi agama dalam menanggapi fenomena globalisasi di Bali.

Pembahasan
Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak, seperti sorga, moksha dan nirvana. Karena itu, tujuan-tujuan ini mesti mendapatkan penafsiran yang membumi, yaitu bagaimana membumikan sorga dan moksha tersebut -- yang dalam bahasa Bali sering disebut sebagai suka tanpa wali duka
-I Putu Gede Sutarya-
Seperti yang terlihat sekarang, Bali merupakan salah satu tujuan utama turis-turis luar negeri maupun turis lokal, hal ini menyebabkan pengeroposan agama pada masyarakat Bali, terutama karena keduanya yang bersifat irasional (arus modernisasi menyebabkan masyarakat yang terkena dampaknya menjadi lebih rasional). Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
Fenomena di Bali Dalam Perspektif Parsons
Dalam teori fungsionalisme strukturalis Talcott Parsons , ada empat fungsi dalam sistem “tindakan” yang dikenal dengan skema AGIL. Yang dimaksudkan dengan fungsi disini adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem . Fungsi ini menurut Talcott Parsons dibutuhkan oleh semua sistem secara bersama-sama untuk dapat bertahan (survive), meskipun begitu keempat fungsi ini tidaklah nyata melainkan unit analisis yang dipakai Parsons. Empat fungsi ini adalah : Adaptation (fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem tersebut), goal attainment (fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya), integration (fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka mengatur hubungan bagian-bagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-aktor didalamnya), dan latency (fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, pada tingkat individu maupun pola-pola kultural).
Sistem Kultural (Latency) Sistem Sosial (Integration)
Organisme Perilaku (Adaptation) Sistem Kepribadian (Goal Attainment)


Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan Umum
Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.
Menurut Parsons juga, masalah mengenai fungsionalisme stuktural dijawab dengan asumsi sebagai berikut :
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan-diri atau keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5. Sistem memelihara batas-batas dalam lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
7. Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Dari teori struktural fungsional tersebut, kita dapat melihat mengenai fenomena agama yang terjadi di Minangkabau dan Bali. Ketika agama mulai mengeropos akibat adanya arus modernisasi yang mempengaruhi masyarakatnya, maka disitulah agama yang tergabung dalam sistem masyarakat Bali melakukan mekanismenya terhadap gangguan yang datang dari eksternal tersebut. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga nilai-nilai agama dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam
Asumsi ketujuh dari Parsons, lebih jauh lagi, menjelaskan mengenai bahwa pada suatu struktur masyarakat yang telah mapan, maka sistem masyarakat Bali akan tetap memelihara keseimbangannya dengan cara menyesuaikan dari dalam. Agama, yang dalam pemahamannya bersifat irasional, namun dalam konteks mempertahankan keberadaannya pada masyarakat Bali berintegrasi sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya yang terkena dampak dari globalisasi dan segala sesuatu yang menyertainya. Jadi, disini dapat disimpulkan bahwa agama yang telah mapan berintegrasi dalam sistem masyarakat Bali, kemudian berfungsi untuk mencangkokkan budaya yang dibawa dalam globalisasi.
Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat, terutama dalam kasus ini, agama Hindhu di Bali. Nilai-nilai dan norma-norma yang tersirat dalam suatu ajaran agama mulai digali kembali agar masyarakat Bali sendiri menyadari pentingnya peran agama dalam kehidupan sehari-hari sehingga keduanya dapat tetap eksis. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.












Penutup
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral.
2. Pada konteks masyarakat kontemporer, agama mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama mereka.
3. Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak
4. Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
5. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali dengan cara menyesuaikan dari dalam.
6. Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.

Daftar Pustaka
Fu Xie. Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme (2009)
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Modern (2007).
I Gede Sutarya. GALUNGAN-KUNINGAN, MERASIONALKAN TUJUAN AGAMA (2006).
I Gede Sutarya . NYUPAT DOGMATISME MENUJU RASIONALISME (2007).
Thomas F.O`dea. Sosiologi Agama ‘Suatu Pengenalan Awal’

Kristenisasi Dalam Pandangan Durkhemian

Pendahuluan
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajaklah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah, Aku menyertai Kamu senantiasa sampai akhir zaman.
Mathius 28:19-20

Kristenisasi adalah suatu gerakan keagamaan. Gerakan ini muncul akibat kegagalan Perang Salib . Berupaya menyebarkan agama krsiten ketengah bangsa-bangsa di dunia. Terutama di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia.Gerakan ini dimulai sejak abad ke-15 Paus di Roma memberi tugas kepada misionaris bangsa Portugis dan Spanyol untuk menyebarkan agama Katholik. Kemudian bangsa penjajah pun tertarik untuk menyebarkan ajaran agama Kristen Katholik dengan mengirimkan para misionaris di negeri-negeri jajahannya.
Sejarah Kristenisasi ini dimulai sejak masuknya bangsa Portugis ke Maluku yang saat itu digerakkan oleh seseorang misionaris bernama Franciscus Xaverius(1506-1552), ia merupakan orang Portugis yang menyebarkan agama Kristen Katholik dengan berkeliling ke kampung-kampung dengan membawa lonceng ditangan untuk mengumpulkan orang-orang untuk diajarkan agama. Gerakan ini(Kristenisasi) sempat tersendat karena terbunuhnya Sultan Hairun, yang menyebabkan kebencian rakyat Maluku terhadap bangsa Portugis.
Jatuhnya Maluku ke tangan Belanda kemudian menggantikan kegiatan penyebaran agama Katholik menjadi penyebaran agama Kristen Protestan . Latar belakang Belanda menyebarkan agama Kristen Katholik karena pada abad ke-17 gereja di negeri Belanda mengalami perubahan, agama Katholik yang semula menjadi agama resmi negara diganti dengan agama Kristen Protestan. Sehingga pemerintah Belanda melarang pelaksanaan ibadah agama Katholik di muka umum dan menerapkan anti Katholik, termasuk di tanah-tanah jajahannya. Di Indonesia sendiri, VOC(berdiri tahun 1602), mendapat kekuasaan dan tanggung jawab memajukan agama. VOC mendukung penyebaran agama Kristen Protestan dengan semboyan “siapa punya negara, dia punya agama”, kemudian VOC menyuruh penganut agama Katholik untuk masuk agama Kristen Protestan. VOC turut membiayai pendirian sekolah-sekolah dan membiayai upaya menerjemahkan injil ke dalam bahasa setempat. Di balik itu para pendeta dijadikan alat VOC agar pendeta memuji-muji VOC dan tunduk dengan VOC.
Agama Kristen Katholik kembali mendapatkan tempatnya ketika Daendels berkuasa. Daendels memberikan hak yang sama terhadap agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Pada tahun 1889, gerakan Kristenisasi berlanjut, dimana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891. Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggl 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 168 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak diantara dua batang pohon “sono”. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono .
Kristenisasi kemudian berlanjut hingga sekarang ini, dan berkembang pesat pada awal abad ke-20, tercatat kenaikan angka penganut agama Katholik dan diangkatnya Uskup Agung pertama di Indonesia pada tahun 1940 yaitu Romo Agung Albertus.

1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari
Pertambahan a. orang yang dibaptis 38 104 133 209 354 280 283 303 345 277
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 16 8 2
c. yang pindah ke paroki ini 241 127

Pengurangan a. umat yang meninggal 11 19 12
b. umat yang pindah ke paroki lain 77 27 112
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482 5637
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 802 917 954 1066 1197 1312 1430 1520 1622 1668

Penerima Komuni I 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
0 58 0 80 64 42 49 40 203 203
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 5637 5922 6133 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari 1668 1663 1722 1910 1961 2062 2173 2204 2432 2643
Pertambahan a. orang yang dibaptis 279 322 304 330 300 341 257 302 290 334
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 3 6 4 3 20 27 5 4
c. yang pindah ke paroki ini 136 197 12 137 1 233 333

Pengurangan a. umat yang meninggal 24 22 21 34 31 4 7 11 16 23
b. umat yang pindah ke paroki lain 109 84 179 456 22 58 57 98 65 294
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 5922 6144 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838 8076
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 1663 1722 1090 1961 2062 2173 2204 2432 2643 2722

Penerima Komuni I 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
202 62 57 79 84 74 79 88 79 43

Perkembangan Jumlah Umat di Paroki Kedoya, Jakarta Selatan
Dari data diatas, dapat dilihat jumlah perkembangan umat agama Kristen Katholik di Paroki Kedoya dari tahun 1986 s/d 2005 yang menunjukkan terus menaikknya jumlah umat bila dibandingkan pengurangannya.
Kerangka Teori dan Pembahasan
Dalam pembahasan mengenai agama, Emile Durkheim berargumen bahwa praktek agama terkait dengan konsep sosiologi yaitu cara bertindak yang dipengaruhi fakta sosial, dimana menurut Robert M. Z. Lawang, fakta sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa individu dari luar, atau setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas dari manifestasi individu. Cara bertindak dibagi menjadi dua: fiks (diatur norma yang bersifat eksternal, memaksa dan umum), dan tidak fiks (diatur oleh norma kelompok yang sifatnya sesaat). Secara garis besar, konsep agama menurut Durkheim digambarkan dengan skema sebagai berikut







Bagan Konseptual Agama Durkheim
Bila kita menggunakan kerangka teoritik diatas, maka dapat dianalisis mengenai perkembangan agama Kristen Katholik di Indonesia melalui Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris sesuai dengan penjabaran diatas.
Kitab Suci (Bible) sebagai benda yang dianggap suci bagi umat agama Kristen Katholik memberitakan adanya kedatangan Juru Selamat yang bernama Yesus Kristus yang merupakan Anak Allah dan turun sebagai manusia untuk menebus dosa manusia. Hal ini dipercayai bagi penganutnya dan menjadi suatu sistem kepercayaan. Dalam Kitab Suci, selain mengabarkan kedatangan Mesias, juga mewartakan mengenai ajaran-ajaran Yesus, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para murid-Nya (12 rasul) yang dimuat pada Perjanjian Baru. Sedangkan pada kitab Perjanjian Lama berisikan mengenai catatan sejarah dan ajaran sebelum datangnya Yesus Kristus.
Pada Kitab Suci juga menjelaskan bahwa penyebaran ajaran-Nya ini perlu untuk dilakukan, dan juga untuk membaptis semua orang dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat 28:19-20), ayat inilah yang menjadi dasar dari praktek resmi Kristenisasi oleh para misionaris. Para misionaris juga melakukannya karena menurut Kitab Suci mereka semua disertai oleh Yesus sendiri sampai akhir zaman yang berarti mereka mendapatkan keselamatan pada akhirnya.
Dalam beberapa hal, konsepsi Durkheim mengenai agama dapat menjelaskan mengenai gejala Kristenisasi di Indonesia yang dilakukan oleh para misionaris tersebut. Maka dalam hal ini bagan konsepsi Durkheim dapat dibuat sebagai berikut:







Bagan Konseptual Agama Durkheim yang disesuaikan oleh penulis
Dari bagan ini dapat dilihat bahwa yang menjadi pusat adalah Kitab Suci yang berisikan ajaran mengenai Yesus sebagai Juru Selamat bagi umat Kristen Katholik. Ajarannyapun juga meliputi penyebaran agama Katholik sehingga ajaran inipun menjadi fakta sosial yang mengatur cara bertindak dari para penganutnya dalam hal ini adalah para misionaris yang mengajarkan mengenai agama kepada penduduk Indonesia.
Respon
Meskipun konsepsi Durkheim ini dapat menjelaskan gejala umum mengenai agama, namun konsepsi ini gagal dalam menjelaskan peran dari state (pemerintah) dalam hal penyebaran agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama merupakan suatu sistem kepercayaan terpadu dan prakteknya berhubungan dengan benda suci. Namun yang terjadi di Indonesia, praktek tersebut mendapat campur tangan pemerintah pada saat itu, yaitu VOC dan dilanjutkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa Kristenisasi sempat terhambat akibat dijajahnya Indonesia oleh Belanda yang kemudian melarang kegiatan agama Kristen Katholik dan menjalankan penyebaran agama Kristen Protestan. Kemudian juga dijelaskan bagaimana praktek ini dapat berjalan kembali setelah Daendels berkuasa. Maka dari sini dapat dilihat mengenai peran pemerintah dalam kegiatan beragama. Hal ini juga merupakan pola-pola umum yang terjadi pada negara-negara yang pernah dijajah, sehingga kebanyakan negara yang pernah dijajah akan memiliki agama, baik mayoritas maupun minoritas, dari negara penjajahnya

Sabtu, 17 Juli 2010

Terhadap Feminis

Pendahuluan : Problema Feminis dalam Realita Kehidupan Sehari-hari

Kritik yang dilancarakan oleh para feminis terhadap konsep dari kewarganegaraan terutama karena adanya posisi antara pria dan perempuan didalam masyarakat tradisional dan modern. Esther Boserup menekankan kepada sosialisasi peran yang dibagi menurut jenis kelamin, lebih lanjut lagi menurutnya pembagian kerja menurut jenis kelamin tersebut seeringkali menghambat perempuan untuk turut sserta dalam pembangunan dan juga untuk aktif di ruang publik. Hal ini dikarenakan perempuan dalam masyarakat tradisional maupun modern sering dikaitkan dengan urusan domestik saja. Misalnya saja pada keluarga Jawa ada pepatah yang mengatakan bahwa urusan perempuan adalah dapur, sumur, kasur.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian feminis dalam permasalahan ketidaksetaraan yang dialami perempuan adalah masalah women traficking atau perdagangan wanita yang terjadi di banyak negara (Saskia Sassen, Counter-geographies of Globalization: Feminization of Survival). Dalam kasus ini, wanita terutama dipergunakan dalam industri seks. Wanita diperjual-belikan sebagai pekerja seks komersial untuk menutupi kesulitan keuangan keluarga mereka, dan sebagai suatu pekerjaan. Di Indonesia sendiri, kasus seperti ini banyak terjadi, dimana wanita diperjualbelikan sebagai pemasukan utama dalam keluarga. Hal ini banyak terjadi di sepanjang jalur Pantura (Pantai Utara), daerah Indramayu, yang bayak dilewati oleh bus, dan truk lintas pulau Sumatra-Jawa. Kebanyakan supir yang melewati daerah tersebut akan berhenti sejenak untuk menyewa jasa wanita pekerja susila.

Kemudian dalam essay singkat ini akan dibahas mengenai kritik feminis terhadap kewarganegaraan dan pembangunan, dan melihat bagaimana nasib perempuan setelahnya. Tinjauan kritis juga diberikan penulis sebagai penutu dari essay ini.

Kritik Feminis Terhadap Kewarganegaraan dan ‘Arus Utama’ Pembangunan

Pada perkembangannya, gerakan feminis ini dikembangkan ke level internasional, dimana dalam konfrensi perempuan yang diadakan oleh PBB, menekankan kepada kesetaraan peran pada lelaki dan perempuan. Salah satu perekmbangan nyata dari gerakan ini adalah kemunculan wacana Women in Development (Kriemield Saunders, Towards a Deconstructive Post-Development Critism) (1970) yang memperjuangkan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi di lapangan pekerjaan profesional dalam konteks pembangunan. Tujuannya agar perempuan mendapatkan akses sebesar-besarnya untuk mengaktualisasikan dirinya, terutama dalam konteks negara berkembang.

GAD(Gender and Development) yang membahas mengenai hubungan antara gender dan kelas sosial dalam masyarakat. GAD menghubungkan relasi produksi dalam kapitalisme dengan berbagai macam aspek kehidupan perempuan, kemudian disini perempuan dilihat sebagai agen perubahan yang harus disadarkan. Selain WID(Women in Development) dan GAD (Gender and Development), wacana lain yang muncul didalam gerakan feminis antara lain : WAD (Women and Development) yang menekankan pada permasalah eksklusi yang dialami perempuan dalam pembangunan dan proses pembangunan, Global Feminism yang menekankan perlunya para feminis mempunyai perspektif global

Ilustrasi 1[1]

Dari bagan diatas, dapat dilihat bahwa yang menjadi tujuan utama dari gerakan feminis, yang walaupun dibedakan melalui pembahasannya, mereka berkonsentrasi terhadap pemberdayaan perempuan dalam rangka meningkatkan partisipasinya didalam proses pembangunan. Hal ini kemudian ditanggapi dengan kemunculan dari Participatory Rural Appraisal (PRA) (Jane Parpart, Lessons From The Field: Rethingking Enpowerment, Gender and Development From a Post- (Post-?) Develompent Perspective) yang merupakan perencanaan pembangunan yang berpusat kepada partisipasi dari masyarakat , sehingga hal ini diharapkan dapat melibatkan kaum-kaum yang termarjinalkan, dalam hal ini tentunya perempuan. PRA ini lebih menekankan kepada aplikasi dibandingkan aspek teori. Pada perkembangannya, PRA memunculkan Community Development (Comdev). Hal ini menjadikan pembangunan masuk ke babak yang baru, pembangunan yang melibatkan peran wanita dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi

Kedua pandangan yang telah disebutkan sebelumnya, global feminism dan GAD, merupakan pandangan yang menjadi dasar dari terbentuknya satu organisasi perempuan yang memfokuskan gerakannya terhadap masalah pembangunan di dunia ketiga dan hubungannya dengan perempuan sebagai warga negara, organisasi ini bernama MATCH. Organisasi ini mengembangkan empat program yang menjadi andalannya : Violence Against Woman, The Gender and Development Program, Words of Women, dan Two Research Project. Yang menjadi tujuan utama dari keempat program tersebut adalah perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam perempuan, yang salah satu caranya adalah membagi peran perempuan dalam parenting kepada lelaki dalam keluarga.

Nasib Perempuan Setelah Kemunculan Gerakan Feminis : Ketimpangan dan Eksploitasi dalam Ranah Pekerjaan

Namun, problem yang dihadapi oleh perempuan ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Ada permasalahan didalam kultur patriarki di masyarakat yang mempengaruhi struktur. Dinamika struktur dan kultur tersebut menyebabkan perempuan yang mulai masuk kedalam pasar kerja, mendapatkan ketidaksetaraan dalam bentuk yang baru. Perempuan mendapatkan upah yang lebih sedikit pada posisi kerja yang sama bila dibandingkan dengan lelaki. Karena itu, industri-industri besar yang membutuhkan banyak buruh, banyak yang lebih memilih buruh perempuan dibandingkan lelaki karena harganya yang lebih mahal.

Mather dalam studinya di Tangerang memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraan yang terjadi antara buruh perempuan dan buruh lelaki. Pada tahun 1972, ketika Indonesia sedang gencarnya melakukan pembangunan, menyebabkan Tangerang sebagai salah satu daerah yang terletak tidak jauh dari Jakarta sebagai ibukota dan pusat perekonomian, mengalami perkembangan, terutama dalam pembangunan industri. Tahun 1978 terjadi perekrutan dalam skala besar karena didirikannya industri

Tabel.1[2]books_002

Pada saat itu, yang menjadi sasaran untuk menjadi buruh perempuan adalah pada usia 20-31, dimana pada usia ini mereka mencari pekerjaan dan mau menerima gaji kecil (di tahun 1978 dengan uang Rp 150 hanya dapat membeli satu liter beras). Lebih lagi, para kapitalis diuntungkan karena perjanjian kerja yang menguntungkan. Mereka tidak perlu membayar uang tambahan, tunjangan kesehatan, dan sebagainya. Dalam posisi ini buruh wanita sangat tereksploitasi.


Ilustrasi 2[3]

Mather melanjutkan bahwa eksploitasi yang dialami perempuan pada pekerjaannya ini dilanggengkan dengan adanya dua penyokong utama. Pertama adalah institusi keluarga, melalui pernikahan yang dialami perempuan, maka mereka akan menjadi menurut terhadap perintah dari keluarga mereka. Dalam hal ini perempuan dikomodifikasi menjadi pemasukan untuk keluarga. Kedua adalah institusi agama, Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh warga Tangerang, memiliki budaya Patriarki yang kuat. Ini memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan di keluarga yang lebih banyak didominasi oleh lelaki.

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bagaimana gerakan feminis yang menginginkan kesetaraan peran sebagai warga negara dan agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan telah membawa mereka kedalam eksploitasi dan ketimpangan dalam bentuk baru. Studi Mather menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja justru mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan lelaki, hal ini menyebabkan melunjaknya jumlah buruh perempuan.

Ilustrasi 3[4]

Ditambah lagi budaya patriarki yang masih ada menyebabkan tidak hilangnya pekerjaan di ranah domestik. Sepulangnya mereka dari bekerja, perempuan tetap dihadapkan kepada pekerjaan sehari-hari sebagai rumah tangga. Memang hal ini lebih banyak terjadi pada konteks negara berkembang, dimana masih melekatnya budaya tradisional. Namun dengan adanya kasus ini, membuktikan bahwa masih ada ketimpangan yang dialami perempuan setelah mereka dihadapkan pada pekerjaan.

Penutup: Tinjauan Kritis Terhadap Feminis

Gerakan Feminis memiliki tujuan mengembangkan posisi teoritis untuk menaikkan kewarganegaraan politis dari wanita dengan kebijakan dan praktis yang didasari oleh dua pendekatan, yaitu perbedaan perkembangan konseptual dan praktis dari kewarganegaraan dalam dominasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin didalam ruang privat dan pendekatan yang berusaha memperjuangkan persamaan dalam ruang publik dan privat. dalam laporan UNDP pada tahun 1995 sampai pada kesimpulan bahwa ruang politik diperuntukan untuk semua warga negara namun hal ini dimonopoli oleh lelaki.

Fenomena mengenai rendahnya partisipasi politik didalam ruang politik ini terutama terlihat jelas kemandekkannya dalam negara yang merupakan bekas negara komunis, meskipun ada peran serta secara aktif wanita dalam transisi menuju demokrasi. Hal ini merupakan simtom dari pola yang lebih luas lagi dimana wanita aktif dalam transisi menuju demokrasi namun tidak dibarengi dengan kekuatan politik wanita. Namun disini sebenarnya sudah mulai ada perubahan, karena perempuan sudah dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

Menurut penulis sendiri, perempuan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai kelas sosial yang tersubordinasikan oleh pria. Karena itu yang harus dilakukan pertama kali dalam kasus ini bukanlah mengenai meningkatkan partisipasi dari wanita dalam pembangunan maupun kegiatan politik, melainkan membangun basis kesadaran dari wanita untuk berpolitik. Dalam hal ini mereka harus dibebaskan dari hegemoni pria yang dibentuk melalui kehidupan sehari-hari, dari budaya patriarki didalam masyarakat.



[1] Hasil pemikiran penulis

[2] Data Depnaker yang diambil dari Dhurandhara HKP dan Ulyn Nuha dalam ‘Eksklusi Sosial (Gender) dan Pembangunan’

[3] Hasil pemikiran penulis

[4] ibid

Agama Takor

Dinamika Bumi FISIP :

Agama Takor

Abstrak

Penelitian yang berjudul ‘ Dinamika Bumi FISIP : Agama Takor ‘ ini berawal dari adaya anggapan megenai ‘Takor Neraka’ dan ‘Musholla Surga’. Kemudian muncul pertanyaan mengenai apakah mungkin bahwa suatu ruang kantin yang bersifat spasial mempunyai afiliasi terhadap agama Islam?

Dari pertanyaan tersebut kemudian dalam penelitian ini menemukan berbagai macam realita sehari-hari yang memperlihatkan bahwa tidak semua Anak Takor tidak melaksanakan kegiatan beragamanya dengan lazim, walaupun memang ada juga yang tidak melaksanakannya.

Dari berbagai macam informasi yang dilakukan maka menghasilkan analisa yang berujung kepada Takor sebagai ruang yang memang bersifat spasial namun juga berafiliasi terhadap pandagan tertentu mengenai agama, yang tidak hanya agama Islam, tetapi juga terhadap semua agama formal. Hal ini karena munculnya satu bentuk spiritualitas ‘New Age’ pada Anak Takor, yang kemudian disebut dengan ‘Agama Takor’.

Kata kunci : Taman Korea (Takor), Islam, FISIP UI, Spiritualitas ‘New Age’, Agama Takor.

Bagian I

Pendahuluan

Latar Belakang dan Pertanyaan Penelitian

Dalam kehidupan beragama Islam di FISIP UI, sering ada anggapan yang mengatakan : Musholla ‘Surga’ dan Takor ‘Neraka’. Dari anggapan ini kemudian berkembang bahwa anak Musholla merupakan mahasiswa yang menjalani kegiatan beragama Islam dengan baik, seperti : menjalankan Sholat lima waktu, mengikuti kegiatan beragama Islam di Musholla, dsb. Sedangkan anak Takor yang beragama Islam diidentikkan bahwa mereka tidak menjalankan agama Islam sebagaimana mustinya, seperti yang dilakukan anak Musholla, misalnya: bersikap hedonis, merokok, tidak Sholat, dsb.

Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengingat tidak seperti Musholla yang memang menjadi simbol dan tempat untuk beribadah yang merujuk pada agama tertentu (agama Islam), pada fenomena ini, Takor (Taman Korea) yang merupakan salah satu kantin yang terdapat di FISIP UI pun dikaitkan dengan cara mahasiswa FISIP UI menjalankan ataupun bersikap terhadap Islam.

Karena itu muncul pertanyaan yang terkait untuk memahami fenomena ini :

1. Apakah benar Takor bukan sekedar istilah yang merujuk kepada ruang spasial, melainkan juga merujuk kepada cara menjalankan ataupun bersikap mahasiwa FISIP UI terhadap Islam?

Bagian II

Deskripsi Umum

Bagian ini akan menyajikan deskripsi mengenai lokasi penelitian, yaitu kantin Taman Korea (Takor). Deskripsi akan dibagi menjadi beberapa sub-bagian, yaitu : Dari Balsem hingga Takor : Sebuah Sejarah Singkat, dan Takor di Pagi, Siang dan Malam.

II.1. Dari Balsem hingga Takor : Sebuah Sejarah Singkat

Taman Korea, atau yang biasa disebut Takor, merupakan salah satu kantin yang terdapat di FISIP UI selain Takoru (Taman Korea Baru), dan Kantin Pasca Sarjana (sudah tidak ada sejak Januari 2010).

Gambar1. Suasana Balsem[1]


Gambar2. Suasana Balsem

Gambar3. Para pedagang Balsem yang beberapa masih ada yang bertahan sampai sekarang, seperti : Mang Ari, tukang sate


Gambar4. Pedagang Balsem yang sedang berpose bersama mahasiswa

Sebelum bernama Takor, dahulu kantin yang terletak di sebelah lapangan bulu tangkis dekat Gedung G FISIP UI ini disebut dengan Balsem alias Balik Semak. Disebut seperti ini memang karena posisinya yang memang sebelumnya terletak dibalik semak-semak sebelum dirubah menjadi jalan ke arah Fakultas Psikologi.

Hal ini berubah semenjak FISIP UI mendapatkan sponsor untuk membangun kantin tersebut yang dibiayai oleh orang Korea yang bernama Yongma. Semenjak itulah nama Balsem digantikan dengan Takor. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2001.

Dari sini dapat terlihat bahwa pembangunan Takor sebagai kantin tidaklah berhubungan dengan kegiatan beragama, melainkan lebih kepada pendanaan yang diberikan oleh orang Korea untuk membenahi Balsem.

Gambar5. Mereka yang mendanai pembangunan Takor


Gambar6. Suatu Malam di Takor

Gambar7. Meja Bundar di Takor


Gambar8. Takor setelah direnovasi tahun 2008

Gambar9. Takor setelah direnovasi kembali pada tahun 2009



II.2. Takor di Pagi, Siang, dan Malam

Takor sangat damai di pagi hari. Hanya sesekali saja terdengar suara percakapan dari beberapa mahasiswa, pedagang di Takor yang berbincang sambil menyiapkan makanan yang akan mereka jual, dan pegawai FISIP UI yang sedang membersihkan meja dan lantai di Takor serta menyapu daun-daun yang berjatuhan di hamparan rumput, yang sudah menggantikan semak-semak, tepa disebelah takor. Selain itu ada juga anak-anak yang menjual tissue, makanan ringan, dan koran

Beberapa mahasiswa yang datang pada pagi hari ada yang berkelompok, dan ada yang datang sendirian. Mahasiswa yang datang berkelompok biasanya mengobrol sambil menikmati hidangan pagi dan minuman yang mereka pesan. Sedangkan mereka yang datang sendiri biasanya membaca buku ataupun bahan perkuliahan, menyantap pesanannya, dan juga sibuk dengan telepon genggamnya.Situasi ini berakhir pada sekitar pukul 10.00 WIB, dimana para mahasiswa sudah ada yang keluar setelah menyelesaikan kuliah pagi mereka. Pada sekitar saat itu Takor selalu dipenuhi oleh orang, yang bukan hanya mahasiswa FISIP UI saja, melainkan ada juga mahasiswa dari fakultas lain (terutama dari fakultas Psikologi, yang memang letaknya berdekatan), dan juga dosen-dosen serta mahasiswa Pasca Sarjana FISIP UI yang kebanyakan merupakan pindahan dari kantin Pasca Sarjana yang sejak awal tahun 2010 ditutup.

Takor di siang hari dapat dibagi menjadi beberapa fase, fase pertama yaitu pada jam10.00WIB sampai sekitar pukul 11.00 dimana perkuliahan pertama selesai dan banyak mahasiswa yang makan disana sehingga Takor akan penuh dan akan mulai menyurut ketika sekitar pukul 11.00 WIB ketika perkuliahan kedua akan dimulai.Fase kedua yaitu pada jam 13.00 WIB sampai jam 14.00 WIB ketika perkuliahan kedua selesai, mahasiswa kembali ke Takor untuk beristirahat sejenak untuk perkuliahan berikutnya, ataupun untuk segera pulang bagu yang tidak ada perkuliahan. Pada jam inilah mulai terlihat banyak apa yang akan dijelaskan nantinya sebagai ‘Anak Takor’ (AT), karena bagi AT yang tidak berkuliah pada jam berikutnya, mereka akan nongkrong di Takor sampai sore dan bahkan banyak yang sampai malam hari. Fase ketiga ada setelah perkuliahan ketiga mahasiswa FISIP UI selesai. Pada fase ini akan sedikit mahasiswa datang yang bukan merupakan AT, namun mereka akan digantikan mahasiswa D3 yang baru akan memulai perkuliahannya, selebihnya adalah AT.

Fase terakhir merupakan fase yang berbeda, karena terjadi dalam satu hari. Fase ini disebut peneliti dengan fase Jum`at. Fase ini berbeda dengan tiga fase sebelumnya karena tidak ada perkuliahan kedua yang biasanya ada pada jam 11.00-13.30 WIB. Hal ini dikarenakan untuk menghormati umat beragama Islam yang melaksanakan Sholat Jum`at. Yang menjadi menarik disini adalah ketika jam Sholat Jum`at tersebut, Takor akan tetap ramai dipenuhi AT. Pada saat itu peneliti[2] bertanya dalam pikirannya : ‘ini Anak Takor yang gue kenal kan banyak yang Muslim, pada gak Sholat Jum`at apa?’

Bagian III

Deskripsi Informan

Disini, peneliti ingin memberikan deskripsi singkat mengenai informan-informan yang relevan dalam menjelaskan permasalahan dalam penelitian. Ada dua informan yang diwawancarai secara mendalam dan melalui pengamatan objektif terhadap informan, yaitu : Informan FS, dan Informan Y.

III.1. informan FS

FS merupakan mahasiswa FISIP UI angkatan 2007, sebelumnya ia telah berkuliah selama satu tahun di FE UI jurusan D3 Akutansi. Namun pada tahun 2007 ia pindah ke FISIP UI setelah lulus SPMB. Tingginya sekitar 168 cm, dengan berat badan yang tidak terlalu gemuk maupun kurus. Rambutnya keriting dan panjang, biasanya ia mengikat rambutnya atau menggunakan bando agar rambutnya tidak menutupi mata. FS pernah masuk menjadi pemain Basket FISIP UI, namun seiring waktu, ia memutuskan untuk tidak lagi mengikuti basket karena tugas kuliahnya yang semakin banyak.

Sekarang ini ia menyebut dirinya sebagai AT. Sehari-harinya FS lebih banyak berada di Takor daripada di tempat lainnya di FISIP UI. Berbicara mengenai permasalahan agama, FS berpendapat bahwa setiap orang pasti memliki pandangan yang berbeda terhadap agama (FS sendiri beragama Muslim). FS mengaku, walaupun dirinya adalah seorang Muslim, namun ia tidak menganggap agamanya ini yang paling benar. Pendapat ini tidak ia dapatkan begitu saja, melainkan melalui pengalamannya dalam mengikuti perkuliahan di jurusannya yang banyak membahas mengenai agama.

FS melanjutkan bahwa dengan pemahamannya terhadap agama yang sepeti itu, maka tidak ada salahnya bila ia menjalankan agama melalui cara-cara yang dijalankan orang-orang pada umumnya, seperti : menjalankan Sholat, berpuasa, dsb. FS berprinsip seperti ini :

..Tidak ada salahnya menjalankan agama, toh kalaupun agamanya tidak benar atau memang Tuhan tidak ada, gue gak melakukan sesuatu yang ngerugiin diri gue…[3]

Disisi lain, FS cenderung beribadah bila teman-temannya beribadah, namun jika teman-temannya sedang nongkrong bareng dan mayoritas tidak Sholat, maka ia juga tidak beribadah.

***

III.2. Informan Y

Y merupakan mahasiswa FISIP UI angkatan 2007. Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai AT. Tingginya sekitar 170 cm dengan warna kulit sawo matang. Rambutnya pendek dan ikal, dan ia memelihara kumis. Hobinya adalah bermain futsal, namun hobinya ini tidak membuatnya mengikuti Futsal FISIP karena ia tidak senang dengan beberapa orang yang ada di di tim FUTSAL FISIP UI.

Sehari-harinya pada hari kuliah, Y biasa nongkrong di Takor. Ia senang bermain kartu dan terkadang ia mengobrol dengan teman-temannya mengenai masalah-masalah di Indonesia. Namun, karena seringnya ia nongkrong di Takor, Y kemudian jarang menghadiri kuliah. Ia menghabiskan jatah absennya, bahkan terkadang menitip absen kepada temannya agar ia bisa nongkrong lebih lama di Takor. Ia hanya tidak nongkrong di Takor pada hari Jum`at, dikarenakan ia tidak pernah mengambil kuliah pada hari Jum`at, alasannya agar bisa istirahat dirumah.

Berbeda dengan informan FS, informan Y secara konsisten tidak menjalankan kegiatan agamanya. Ia lebih senang dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan tidak membawa nama agama. Bahkan sekalinya ia membahas agama Islam dengan salah satu AT,ia membahas konteks sosial dimana Islam itu tumbuh.

Bagian IV

Temuan Lapangan

Pada bagian ini akan diperlihatkan hasil temuan lapangan yang didapatkan peneliti. Bagian ini dibagi menjadi 3 sub-bagian, yaitu : Memetakan Takor secara Sosial, Anak Takor, dan Kehidupan Beragama Anak Takor.

III.1 Memetakan Takor secara Sosial





Gambar.10 Peta Sosial di Takor[4]

Denah ini dapat dilihat secara nyata pada hari senin-jum`at (pada hari perkuliahan S1) pada fase-fase yang sudah disebutkan sebelumnya. Dan dari denah ini juga dapat terlihat bahwa ada kecenderugan dari AT untuk berkumpul sesuai dengan jurusannya, sehingga sangat mudah untuk menemukan AT jika kita ingin mencari mereka.

Disisi lain, adanya kecenderungan ini juga memudahkan penjual untuk mengingat AT yang memesan makanan. Misalnya dalam satu kesempatan, peneliti yang juga AT memesan makanan kepada Mang Ari, dan ia akan selalu menemukan saya didaerah yang sama.

Namun apakah adanya kecenderungan untuk duduk berkelompok hanya didasarkan pada alasan itu?apakah memang hal tersebut terjadi secara tiba-tiba?sub-bagian selanjutnya , yang merupaka hasil wawancara dengan informan FS dan informan Y, akan mencoba untuk mendeskripsikan hal ini.

***

III.2 Anak Takor

FS mendeskripsikan AT sebagai orang-orang yang berada pada satu kesatuan di Takor karena adanya pertentangan dengan anak Musholla, maka AT tidak akan menginjakkan kakinya di Musholla, begitu juga sebaliknya. FS mendapatkan pemahaman ii dari cerita-cerita yang beredar dan melalui pembicaraan dengan dosen-dosen dan alumni di jurusannya.

Sedangkan makna AT yang ia dapatkan sekarang berdasarkan yang ia alami sendiri selama ini jauh berbeda. AT sekarang ini lebih kepada orang-orang atau mahasiswa-mahasiswi yang nongkrong di Takor, mereka cenderung berkumpul bersama anak-anak dari jurusannya sendiri. FS merasa tidak ada nilai-nilai bersama pada AT yang sdekarang ini bila dibandingkan sebelumnya

Menanggapi peta sosial di Takor, FS berpendapat bahwa hal itu belum lama terjadi. Kemunculannya terkait denga tidak adanya OSPEK Fakultas atau Sarasehan, sehingga mahasiswa-mahasiswi yang sekarang lebih terbagi atas jurusannya masing-masing.

Skema.1 Alur berpikir informan FS

Berbeda dengan FS, ketika berbicara mengenai AT, Y menanggap bahwa AT merupakan mahasiswa/mahasiswi yang sering nongkrong di Takor yang memiliki ideologi (istilah informan) agama secara berbeda dengan Anak Musholla. Y juga mengatakan bahwa AT bila membicarakan suatu isu (misalnya isu politik, ekonomi, sosial) tidak membahasnya dalam pandangan agama, dan hal ini sangat berbeda dengan Anak Musholla yang menurutnya jika membahas sesuatu selalu dikaitkan dengan pandangan Islam.

Walaupun begitu, Y menekankan bahwa bukannya ia tidak beragama atau atheis, namun ia berpendapat bahwa agama (Y beragama Islam) merupakan masalah personal. Y juga masih melaksanakan kegiatan beragama Islam, namun bergantung kepada feel dirinya. Y berpendapat bahwa semua AT memiliki pemikiran yang sama terhadap agama seperti yang ia pikirkan, menurutnya hal ini terbukti setelah selama ini ia mengobrol dengan AT lainnya. Y menyebutkan beberapa nama seperti Ari, dan Mesum.

Lebih lanjut lagi, Y menyebutkan keberadaan dari AT melalui kemenangan Thomas-Hegar dalam pemilihan BEM tahun lalu. Y berpendapat bahwa pemiliha BEM FISIP yang pada akhirnya dimenangkan oleh Thomas-Hegar tersebut memang terdapat dan sangat terasa mengenai isu ‘Takor-Musholla’ yang Y sebutkan sebagai kubu yang berlawanan di FISIP. Selain itu, menurut Y, munculnya isu tersebut dikarenakan pasangan tersebut non-Islam.

Masak kalian mau dipimpin oleh orang yang bukan Muslim?[5]

Potongan wawancara Y yang menyebutkan adanya isu seperti diatas. Namun menurutnya isu tersebut tidak mempengaruhi AT. Hal ini dikarenakan Thomas-Hegar yang memang mempunyai basis AT, juga memiliki kredibilitas sebagai pemimpin yang diakui oleh AT lainya, bukan permasalahan mereka dari agama mana.

Skema.2 Alur Berpikir Informan Y

***

III.3 Kehidupan Beragama Anak Takor

FS bercerita mengenai AT, ia mengatakan bahwa memang ada perbedaan, terutama pada AT dari jurusan Sosiologi dalam menjalankan kegiatan beragama Islam. Kebanyakan dari mereka berkurang intensitasnya dalam beribadah, seperti : Ikyu, Resa. Dan ada yang kemudian sama sekali tidak menjalankan kegiatan beragamanya, seperti : Dhuran, Barjo; yang anehnya mereka tetap berpuasa pada bulan Puasa.

Sedangkan FS tidak begitu melihat perubahan terhadap AT dari jurusan selain Sosiologi. Dalam artian mereka yang rajin beribadah tetap beribadah, dan mereka yang tidak tetap tidak. FS mencontohkan Rendi dari jurusan Anthropologi, yang telah ia perhatikan sejak awal tetap rajin menjalankan kegiatan beragamanya. Sedangkan Yudha yang dari jurusan Kessos yang hanya sesekali menjalankan kegiatan beragamanya, dan tetap seperti itu sampai sekarang.

Kemudian, melalui observasi yang dilakukan peneliti selama di Takor terhadap AT yang beragama Islam, melihat bahwa ternyata tidak semuanya tidak melakukan kegiatan beragama yang lazim dilakukan pada agama Islam, misalnya Sholat, puasa, dsb. Walaupun pada kesehariannya At sering dikaitkan dengan mahasiswa-mahasiswi yang tidak menjalankan agama dengan tekun/rajin.

Berdasarkan argumen diatas, peneliti mencoba mendeskripsikan mengenai mereka berdasarkan observasi. Pertama, ada AT yang tidak menjalankan kegiatan beragama Islam yang lazim. Ini terlihat ketika mereka tidak Sholat pada jam Sholat, mereka juga tidak berpuasa pada bulan puasa. AT jenis pertama ini peneliti namakan dengan ‘Anak Tako(AT) Kabrut’.

Kedua, ada AT yang menjalani kegiatan beragama yang lazim secara berpola. Dan polanya mengikuti perasaan hati mereka, atau feel dalam bahasa informan Y, maupun pengalam sehari-hari yang dialami mereka. Hal-hal tersebut mempengaruhi kegiatan beragama mereka. AT jenis kedua ini peneliti namakan dengan ‘Anak Takor(AT) Mood-Moodan’.

Ketiga, AT yang tidak menjalankan kegiatan beragama Islam yang lazim, namun tetap menjalankan pada hari-hari besar agama Islam, seperti : tetap puasa pada bulan puasa dan tidak menjalankan puasa sunnah, sholat pada saat Ramadhan tetapi tidak menjalankan Sholat 5 waktu sehari-hari. AT jenis ketiga ini peneliti namakan dengan ‘Anak Takor(AT) Wajar’.

Keempat, AT yang menjalankan kegiatan beragama Islam yang lazim. Mereka tetap menjalankan semua kegiatan tersebut terlepas dari anggapan terhadap Takor. Namun terlepas dari semua pembagian ini, mereka semua merupakan AT karena mereka semua banyak melakukan kegiatannya dan menghabiskan waktunya di Takor. AT jenis keempat ini peneliti namakan dengan ‘Anak Takor(AT) Taat’.

Disini Takor menjadi suatu tempat yang digunakan untuk nongkrong sehingga dengan banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama membentuk suatu pola-pola tertentu. Pola ini mungkin tidak terlihat kasat mata, namun dapat dirasakan apabila kita berinteraksi secara intens dengan AT. Dalam permasalah agama, bagi AT bukanlah menjadi hal yang penting. Tidak ada batasan tertentu mengenai agama, ataupun cara masing-masing AT menjalaninya.

***

Yang menjadi menarik disini berdasarkan pengamatan peneliti, pembagian AT tersebut juga berlaku pada AT lainnya yang bukan berasal dari agama Islam. Hal yang sama juga berlaku pada AT dari agama lain. Lalu apakah benar Takor merupakan ruang yang bukan sekedar spasial saja, dan tidak hanya berafiliasi terhadap sikap pada agama Islam?Tetapi juga berafiliasi dengan pandangan tertentu terhadap agama. Pertanyaan-pertanyaan ini akan mengisi bagian selanjutnya, yaitu bagian analisa dan kesimpulan.

Bagian V

Analisa dan Kesimpulan

Takor : Ruang Spasial yang Berafiliasi

Dari temuan lapangan yang didapatkan melalui wawancara mendalam dengan kedua informan dan observasi yang dilakukan peneliti, maka didapatkan ada perbedaan pandangan mengenai AT.

Informan FS menyatakan tidak ada kesamaan yang terdapat pada AT, hal ini dikarenakan dihapusnya Sarasehan fakultas yang menrut FS membangun kebersamaan mahasiswa FISIP pada umumya dan AT pada khususnya.

Sedangkan informan Y menyatakan adanya kesamaan pada AT mengenai pandangan terhadap agama, yang membedakannya dari anak Musholla, yaitu semua AT akan menganggap agama sebagai sesuatu yang privat, dan tidak terlalu mempermasalahkan mengenai cara menjalankannya. Hal inilah yang kemudian menurut informan Y, menjadi sumber dari pertentangan AT dan anak Musholla.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, peneliti juga menemukan beberapa jenis AT yang dibagi berdasarkan cara dan intensitas mereka melakukan kegiatan beragama yang lazim dilakukan orang-orang pada umumnya, yaitu AT Kabrut, AT Mood-Moodan, AT Wajar, dan AT Taat. Bahkan seperi anak Musholla, AT Taat juga menjalankan agama Islam sebagaima anak Musholla menjalankannya. Hanya saja yang membedakan adalah, agama tidak menjadi pandangan hidup satu-satunya.

Karena penelitian ini memfokuskan pada pencarian penjelasan mengenai fenomena Takor sebagai ruang yang berafiliasi terhadap agama Islam atau tidak, maka menurut peneliti akan lebih relevan jika menggunakan argumen dari informan Y. Lebih lagi juga karena informan FS yang mengidentifikasikan dirinya sebagai AT juga memiliki pandangan yang sama mengenai agamanya sendiri, agama Islam.

..Lagian gue juga gak menganggap agama gue yang paling bener. Tapi kan kalo kita inget kata Mas Eko waktu ngajar Filsos, tidak ada salahnya menjalankan agama, toh kalaupun agamanya tidak benar atau memang Tuhan tidak ada, gue gak melakukan sesuatu yang ngerugiin diri gue, ini jadi prinsip gue dalam ngejalanin agama..yah kalo temen-temen gue Sholat, ya gue juga Sholat. Tapi kalo lagi pada nongkrong asik gitu en pada ga Sholat, masa gue Sholat?ga asik juga kan...[6]

Pernyataan informan FS diatas juga menunjukkan dirinya sebagai AT dalam pemikiran Y. FS tidak menganggap agamanya yang paling benar, yang merupakan salah satu pandangan yang dianut oleh AT. Dan FS digolongkan sebagai AT Mood-Moodan





Skema.3 Jenis AT berdasarkan cara dan intensitas mereka melakukan kegiatan beragama yang lazim dilakukan orang-orang pada umumnya

Skema diatas dengan jelas menyatakan bahwa berbagai macam AT yang ada tidak memberikan perbedaan kepada mereka dalam pandangannya mengenai agama. Dan perbedaan yang ada lebih berkonsentrasi pada cara dan intensitas mereka menjalaninya, karena itulah tidak ada tingkatan dalam bagan tersebut.

Pada kasus kemenangan Thomas-Hegar juga menjelaskan bahwa AT lebih tertarik dengan kredibilitas dan pengakuan sebagai seorang pemimpin, yang menurut informan Y sangat berbeda dengan isu yang muncul mengenai basis Thomas-Hegar yang memang ada di Takor

Sehingga wajar saja bila terjadi pertetangan dengan anak Musholla yang menjadikan agama sebagai pandangan hidup, dalam hal ini agama Islam. Hal ini bahkan terjadi di level makro pada konteks Indonesia, dimana organisasi-organisasi Islam ingin memasukkan paham Islam kedalam hukum Indonesia, dalam konteks FISIP bahkwa anak Musholla menganggap AT sebagai ‘khafir’. Munculnya anggapan mengenai ‘Takor Neraka’ dan ‘Musholla Surga’ juga didasarkan pada pertentangan ini.

Jadi disini dapat dikatakan dalam konteks FISIP yang terasa keberadaan mengenai anak Musholla yang merepresentasikan agama Islam, Takor sebagai salah satu kantin yang ada di FISIP UI dan seharusnya hanya bersifat spasial saja, dalam hal ini juga memiliki afiliasi dengan pandangan terhadap Islam. Dan dalam relasi kekuasaan di FISIP, AT yang menjadi representasi dari Takor itu sendiri menjadi kekuatan politik yang disandingkan dengan anak Musholla.

***

Agama Takor : Satu Bentuk Spiritualitas ‘New Age’

Untuk memahami fenomena ini lebih jauh lagi, peneliti akan menggunakan pembahasan Sukidi mengenai ‘Spiritualitas New Age’, berikut adalah penjabarannya.

Sukidi membahas mengenai suatu perubahan sosial dimana timbulnya kondisi mengingkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal. Penolakan ini menurut Sukidi, karena adanya eksklusifitas dan dogmatisme agama, kemudia masyarakat beralih ke arah spiritualitas baru yang lintas agama.

Pada dasarya, gerakan spiritualitas yang dinamakan ‘New Age’ ini memiliki tujuan yang sama yaitu : memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Gerakan ini dimulai di Inggris, sekitar pada tahun 1960-an, yang dipelopori oleh Light Group, Findhorn Community, Wrekin Trust. Ekspresi ‘New Age’ menjadi populer pada tahun 1970-an sebagai protes atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisasi dalam menyajikan wawasan spiritualitas dan petunjuk etis menatap masa depan.

Menurut Sukidi, tradisi spiritualitas New Age ini dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, namun juga dapat memberi muara kepada New Age ke arah terwujudnya Universal Religion. Karena berdasarkan keyakinan mereka, semua agama hanya sekedar jalan-jalan menuju kepada satu realitas yang menjadi ultimate reality dari semua perjalanan spiritual.

Pada kasus AT di FISIP UI, gejala-gejala yang timbul pada AT juga merepresentasikan apa yang dimaksudkan Sukidi dengan spiritualitas New Age. AT sudah tidak lagi berada pada istitusi agama formal dan keluar dari eksklusifitas dan dogmatisme agama. Mereka membentuk suatu , meminjam istilah Beyer, ‘kode’ dan ‘program’, yang lintas agama.

Bila hal ini dihadapkan dengan mereka yang berlaku sebaliknya, berada didalam eksklusifitas dan dogmatisme agama, maka AT tentu akan dianggap sebagai musuh yang mengganggu dengan eksistensinya.

Jika dikaitkan dengan agama Islam, memang dapat dikatakan bahwa Takor mempunyai afiliasi mengenai pandangannya terhadap Islam. Namun bila dilihat secara lebih jauh lagi, pandangan ini tidak hanya ditujukan kepada agama Islam, tetapi juga kepada semua agama, Katholik, Kristen, Budha, dsb.

Skema.4 Alur Analisa

Hal inilah yang menyebabkan AT terdiri dari berbagai macam agama, dan mereka memiliki kode yang melintasi agama tersebut, yaitu pandangan mengenai agama tidak menjadi satu-satunya pandangan hidup, dan tidak ada aturan yang membatasi mengenai cara menjalankannya. AT juga lebih memilih untuk membahas berbagai masalah yang terjadi secara ilmiah, dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan sosial, politik, ekonomi, dsb, dan bukan melalui pandangan agama tertentu. Seperti membentuk agama yang universal, peneliti menamakan ini sebagai ‘ Agama Takor’. Inilah satu bentuk spiritualitas abad baru yang dibentuk didalam Takor.

Kesimpulan

Dari berbagai informasi yang didapatkan melalui wawancara dengan informan dan observasi yang dilakukan peneliti, dan dengan melakukan analisis terhadap informasi tersebut, maka didapatkan bahwa memang Takor sebagai kantin di FISIP UI tidak hanya mempunyai sifat ruang spasial saja, melainkan juga mempunyai afiliasi terhadap pandangan tertentu mengenai agama Islam secara khusunya dalam penelitian ini, dan pandangan mengenai agama formal secara keseluruhan dalam sehari-harinya Hal tersebut dikarenakan munculnya suatu bentuk spiritualitas yang disebutkan Sukidi dengan spiritualitas New Age, dan disebutkan peneliti dengan ‘Agama Takor’.

Adanya pandangan tersebut menimbulkan pertentangan dengan anak Musholla sebagai salah satu kekuatan yang bersifat agamis dan memiliki eksklusifitas dan dogmatisme terhadap agama Islam. Sehingga tidak heran jika muncul anggapan ‘Takor Neraka’ dan ‘Musholla Surga’.

[1] Gambar 1-9 didapatkan melalui halaman Facebook yang berjudul ‘Takor a.k.a Balsem’

[2] Pertanyaan yang didapatkan peneliti didapat berdasarkan pengalaman selama ini berada ditakor. Disini peneliti juga mengidentifikasikan dirinya sebagai salah satu dari Anak Takor

[3] Wawancara dengan informan FS di Takor

[4] Hasil observasi peneliti

[5] Wawancara di Takor dengan informan Y

[6] Wawancara di Takor dengan informan FS