"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Kamis, 27 Mei 2010

Hubungan Antar Etnis di Surakarta (Solo) : Konflik Etnis Antara Cina dan Jawa

Hubungan Antar Etnis di Surakarta (Solo) :

Konflik Etnis Antara Cina dan Jawa

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai kemajemukan, mulai dari keragaman dalam hal budaya, etnis, agama. Kekayaan yang dimiliki ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang setiap pulaunya menyediakan keberagaman dalam berbagai hal, dan juga karena adanya perpindahan dari berbagai daerah lain di luar Indonesia dan kemudian menetap di Indonesia. Keberagaman ini tentu saja menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal tersebut tentu saja dapat membawa dampak yang baikapabila semua hal dapat disikapi dengan baik oleh masing-masing sebagai seorang aggota warga negara Indonesia. Namun apabila hal ini tidak disikapi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kesejangan sosial, disintegrasi. Hal ini disebabkan karena tingginya kemajemukan dapat menyebabkan benturan kebudayaan yang akan berujung dengan konflik antara kelompok etnis, kelompok agama, dansebagainya. Baik identitas agama maupun etnik merupakan hal yang tidak begitu konkrit bila dibandingkan warna kulit dan gender. Jadi baik identitas tersebut bersifat primordial maupun terkonstruksikan , keduanya bersifat rentan terhadap kerusakan secara internal dan tekanan dari luar, karena itulah kesadaran akan rentannya etnik dan agama menciptakan konflik dewngan kelompok lain dan membuatnya sulit untuk melakukan dialog dengan kelompok lainnya

Sejarah Indonesia sendiri memang selalu dipenuhi dengan konflik antara kelompok, misalnya : konflik antar etnis Jawa dan Sunda, konflik antara etnis Madura dan Dayak, konflik agama di Maluku, dan konflik yang melibatkan etnis Cina didalamnya yang banyak terjadi dalam sejarah Indonesia, salah satunya adalah yang terjadi di Surakarta(Solo) . Bila kita melihat akar historisnya, konflik yang terjadi dengan etnis Cina, merupakan hal yang diwariskan oleh bangsa kolonial yang pernah menjajah Indonesia, dalam konteks ini bangsa Belanda yang diwakili oleh VOC. Etnis Cina merupakan bangsa pendatang di Indonesia, dan jika mengacu pada studi yang dilakukan oleh Furnivall, etnis Cina, dalam stratifikasi sosial masyarakat Indonesia saat itu terletak pada strata menengah, dimana diatasnya terdapat bangsa Barat, dan dibawahnya terdapat bangsa pribumi. Posisi yang dimiliki etnis Cina ini memang rentan dijadikan tumbal dari berbagai masalah, dimana disatu sisi, etnis Cina yang dieksploitasi bangsa Barat, juga dijadikan tameng dalam berbagai permasalahan yang dihadapi bagsa Barat dengan pribumi. Namun, posisi etnis Cina yang juga mendapatkan keuntungan dengan posisinya yang berada ditengah tersebut, ternyata masih mewariskan kecemburuan sosial dari pribumi karena sering kali mereka lebih berhasil dalam bidang ekonomi.

Surakarta sebagai daerah yang dikuasai oleh Kasunanan Surakarta ini, ternyata juga tidak lepas dari konflik yang mempunyai akar historis ini. Dari 15 konflik sosial besar yang terjadi selama hampir seabad di Surakarta, sekitar separuhnya secara langsung diwarnai konflik rasial (Soedarmono, 2004). Konflik rasial tersebut melibatkan penduduk asli dan pendatang, khususnya pribumi dan etnis Cina (Geliat Naga di Surakarta, 2008).Adapun salah satu konflik yang paling besar adalah yang terjadi pada tahun 1998 diman terjadi pengerusakan besar-besaran terhadap warga keturunan Cina(Drs. Sri Agus, M.Pd, 2007). Berikut adalah data kerusakan dalam konflik tersebut:

No.

Jenis

Tingkat Kerusakan

Jumlah

1

Perkantoran/Bank

Dibakar/dirusak

56

2

Pertokoan/ swalayan

Dibakar

27

3

Toko

Dibakar/dirusak

217

4

Rumah makan

Dibakar

12

5

Showroom motor/mobil

Dibakar/dirusak

24

6

Tempat pendidikan

Dirusak

1

7

Pabrik

Dibakar

8

8

Mobil/truk

Dibakar

287

9

Sepeda Motor

Dibakar

570

10

Bus

Dibakar

10

11

Gedung bioskop

Dibakar

2

12

Hotel

Dibakar

1

Tabel 1.1. Data kerusuhan Mei 1998 di Surakarta[1]

Fenomena konflik yang terjadi di Surakarta ini menarik untuk dikaji lebih mendalam mengingat didalam kota Surakarta sendiri tidak hanya terdapat etnis Cina dan Jawa saja, tetapi juga terdapat etnis lain seperti Arab, India, dan Eropa, yang dapat dikelompokkan berdasarkan tempat tinggalnya. Selain mempunyai keberagaman etnis, Surakarta juga mempunyai keberagaman dalam hal agama, dimana terdapat agama Islam sebagai mayoritas, dan agama Kristen (Katholik dan Protestan) sebagai minoritas.

Etnis

Lokasi Tempat Tinggal

1. Jawa

Tersebar diseluruh kota sebagai etnis mayoritas

2. Cina

Daerah Pasar Gede, Balong, Kecamatan Jebres (KelurahanSudiroprajan, Jagalan, Tegalharjo), Kecamatan Banjarsari(KelurahanGilingan, Ketelan, Timuran, Stabelan), Solo Baru

3. Arab

Kecamatan Pasar Kliwon(Kelurahan Psar Kliwon, Semanggi, Kedung Lumbu)

4. India dan Eropa

Loji Wetan

Tabel 1.2 Etnis-etnis di Kota Solo[2]

Agama

Jumlah

Dalam Persentase

1. Islam

403.412

72%

2. Kristen Katholik

73.251

13%

3. Kristen Protestan

75.171

14%

558.038

100%

Tabel 1.3 Agama di Kota Solo[3]

Dari beberapa data diatas, maka dapat dilihat berbagai keberagaman yang dimiliki oleh Surakarta, dimana interaksi sosial yang terjadi tidak hanya antara etnis Cina, Jawa, tetapi juga dengan etnis lainnya seperti Arab, India dan Eropa. Selain itu juga terjadi interaksi antar agama, dimana di Surakarta tidak hanya terjadi keberagaman etnis, disini juga terdapat 3 agama besar.

I.2 Permasalahan dan Pertanyaan Permasalahan

Daerah Surakarta mempunyai berbagai keberagaman, tidak hanya etnis, melainkan juga agama. Namun dalam perkembangannya, konflik yang sering terjadi didalamnya adalah konflik antara etnis yang melibatkan etnis Cina dan Jawa. Tercatat konflik besar yang melibatkan kedua etnis tersebut dalam seabad terakhir ini ada 15 konflik. Yang menjadi penting untuk dikaji dalam masalah ini adalah mendeskripsikan dimensi hubungan antar etnis yang terjadi dalam konflik antar etnis Cina dan Jawa yang terjadi di Surakarta.

Dari pernyataan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang relevan untuk membahas masalah ini, yaitu:

1. Bagaimanakah akar persoalan yang terjadi dalam konflik hubungan antar etnis Cina dan Jawa bila dilihat dari sisi historisnya?

2. Bagaimanakah bentuk manifestasi dari konflik yang terjadi tersebut?

3. Siapakah aktor-aktor yang terlibat dalam konflik antar etnis ini?

4. Bagaimanakah konflik antara etnis ini bila dianalisis melalaui ‘varieties of conflict’ yang dikemukakan oleh Charles Tilly?

5. Bagaimanakah konflik antar etnis ini bila dianalisis melalui teori konflik yang dikemukakan oleh Dahrendorf?

I.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan pertnayaan permasalahan diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Menjelaskan akar persoalan yang terjadi dalam konflik hubungan antar etnis Jawa dan Cina dilihat dari sisi historisnya

2. Menjelaskan bentuk manifestasi dari konflik tersebut.

3. Mengungkapkan aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut.

4. Menganalisis konflik antar etnis ini melalui ‘varieties of conflict’ yang dikemukakan Charles Tilly.

5. Menganalisis konflik ini melalui teori konflik Dahrendorf.

BAB II

Deskripsi Konflik Antar Etnis di Surakarta

Pada bagian ini, penulis ingin memberikan gambaran mengenai konflik yang terjadi di Surakarta. Bagian ini akan menjelaskan mengenai akar konflik yang dilihat dari sisi historisnya. Bagian ini juga akan membahas mengenai aktor-aktor yang ada dalam konflik antar etnis ini.

Akar Persoalan Konflik

Gungwu (1981: 261-264), menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks[4]. Kompleksnya permasalahan mengenai etnis Cina ini dapat ditarik melalui akar sejarahnya. Keadaan sosial di Surakarta saat itu memang telah berkembang dengan etnis Cina yang berinteraksi dengan etnis Jawa, termasuk juga kalangan elit (bangsawan Jawa). Kehidupan bangsawan saat itu seringkali menuntut pengeluaran yang besar, karena itulah banyak dari mereka yang akhirnya terpaksa meminjam kepada saudagar Cina, banyak diantara bangsawan Jawa tersebut yang akhirnya terlilit utang kepada saudagar Cina dan tidak dapat membayarnya dan akhirnya harus melepas tanahnya . Akhirnya sebagai pendatang, etnis Cina dapat menempati golongan menengah dalam struktur kelas masyarakat Jawa. Posisi mereka ini berada ditengah-tengah, dimana diatasnya terdapat kelas bangsawa (wong gedhe), dan dibawah mereka terdapat golongan rakyat jelata(wong cilik), yang banyak dari mereka akhirnya menjadi buruh di toko Cina. Dalam sejarah Surakarta, sentimen kepada etnis Cina ini dimulai dengan pemberontakan etnis Cina yang terjadi pada tahun 1742, dan dikenal dengan peristiwa Geger Pacina. Konflik ini melibatkan etnis Cina dan pemberontak melawan Paku Buwono II, yang akhirnya etnis Cina dan pemberontak berhasil memaksa Paku Buwono untuk memindahkan keraton dari Kartasura ke Solo. Setelah itulah sering terjadi konflik antar etnis antara Jawa dan Cina. Tercatat pada tahun 1911 pernah terjadi konflik antara pedagang Cina (Kong Sing Cina) dengan pedagang batik Muslim Jawa (Rekso Roemekso). Kelompok pedagang Muslim Jawa itulah yang kemudian pada perkembangannya menjadi Syarekat Islam pada tahun 1912 karena kelompok ini lebih mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa besar lain yang pernah terjadi adalah pada tahun 1972, ketika itu akar permasalahan sebetulnya adalah antara seorang Arab dengan pribumi yang berprofesi sebagai penarik becak, dan berakhir dengan kematian pribumi. Berita ini kemudian menyebar keseluruh Solo, yang akhirnya menimbulkan kerusuhan (pengerusakan, pembakaran) yang terjadi di pertokoan pasar Pon dan Coyudan, pada peristiwa ini yang menjadi incaran amukan massa adalah toko yang dimiliki oleh etnis Cina. Sedangkan pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1980 dimulai dengan peristiwa kecil antara pengendara sepeda yang pribumi dengan pejalan kaki yang adalah etnis Cina. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi perkelahian antara etnis Cina dengan Pribumi, dan terjadi pembakaran terhadap pertokoan milik etnis Cina yang terjadi disepanjang ruas jalan tersebut.

Dari deskripsi konflik tersebut juga dapat dilihat bahwa dalam hubungan etnis Jawa dan Cina terdapat aktor-aktor yang bermain dalam konflik ini. Aktor-aktor tersebut adalah : 1. Bangsawan yang termasuk didalam etnis Jawa, secaara struktur kelas mereka berada di atas etnis Cina, namun pada perkembangannya posisi ekonomi mereka menjadi berada dibawah etnis Cina karena seringkali bangsawan tersebut meminjam uang kepada saudagar Cina dan akhirnya kehilangan tanah karena terlilit utang. 2. Etnis Cina yang menjadi pedagang. Disini mereka menjadi sasaran sentimen primordial yang diberikan oleh etnis pribumi karena secara ekonomi mereka lebih berhasil dibandingkan etnis pribumi.

BAB III

Analisis

Dari deskripsi mengenai konflik etnis Cina dan Jawa di Surakarta tersebut maka dapat dilakukan beberapa analisis yang relevan dengan kasus ini. Analisi akan dilakukan dengan 2 pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan konflik Dahrendorf, sedangkan pendekatan yang kedua adalah ‘varieties of conflict’ yang dikemukakan Charles Tilly. Kedua teori yang berbeda ini dipilih untuk melihat konflik tersebut secara berbeda, dimana dalam pendekatan Dahrendorf akan dilihat konflik ini sebagai konflik vertikal, dan dalam pendekatan Charles Tilly akan dilihat konflik ini secara horizontal.

Analisis Konflik Dahrendorf

-Sociology is about an understanding structure...which make determinate behavior regulary probable...The concept of change imposes limitations on a simply causal connection of given structures and observed behavior...because the relationship between norm and action, structure and behavior is of necesity tenuous.-

(Dahrendorf, 1979:65-66)

Dalam memandang masayarakat, Dahrendorf menggunakan dua pandangan yang berbeda, model tatanan dan konflik dari masyarakat membagi disiplin teoritisnya kepada dua dasar yang amat kontras. Pada tradisi sosiologi ‘order’, masyarakat merupakan sesuatu yang stabil, organisme yang fungsional, dan terintegrasi satu sama lain melalui adanya konsensus dan berbagi dalam sistem nilai dan norma. Sedangkan pada tradisi konflik dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat ditandai dengan adanya perubahan, suatu momen dari proses historis yang didorong oleh perbedaan kepentingan, karena bagaimanapun stabilitas itu terjadi maka akan berbasiskan koersif bagi yang lemah dari mereka yang berkuasa. Dari kedua basis ini, maka Dahrendorf memandang masyarakat sebagai integrasi dan konflik. Dalam penjelasannya dari dominasi dan penundukan pada level organisasi sosial, bagaimanapun diasumsikan sebagai sifat dasar koersif dari struktur sosial. Kemudian ia mencanangkan gambaran pluralis mengenai ‘open society’ dan menawarkan bentuk dari contractualism –J.J. Rousseau (contohnya negosiasi, voting, dll) sebagai alat solusi dari konflik. Konflik antar kelas dalam teori Dahrendorf berbeda dengan yang diutarakan Marx, lebih lagi Dahrendorf menolak definisi Marx. Bukan antara borjuis dan proletar, melainkan kelompok konflik yang muncul dari struktur otoritas dari organisasi sosial, dan mengganti kelas pada karya Marx dengan kompetisi antara kepentingan kelompok. Konflik antar kelas tersebut, bagi Dahrendorf, hanya merupakan bentuk lain dari konflik sosial yang biasa terjadi. Seperti adanya konflik antar ras, konflik antara yang muda dan yang tua, dan antara laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, Dahrendorf menyatukan visi dari ilmu pengetahuan manusia. Karena itulah konflik tersebut dapat diselesaikan melalui debat parlemen, ataupun negosiasi.

Dalam menjelaskan class dan class conflict , Dahrendorf melihatnya sebagai benturan kepentingan antara kelompok dominan dan submisif. Kelas sosial dalam pengertiannya dianggap sebgai kolektivitas dari masyarakat yang mempunyai kesamaan kepentingan (baik yang tersembunyi maupun yang dimanfestasikan) karena berbagi dalam suatu posisi pada struktur dari asosiasi/organisasi sosial. Menurut Dahrendorf, intensitas dari konnflik antar kelas dapat direduksi kepada tingkatan yang[5] :

1. Kelas-kelas bebas untuk mengorganisir dirinya.

2. Konflik antar kelas terkandung dalam organisasi dan tidak terdapat di tempat lain.

3. Distribusi dari otoritas dan penghargaan (reward) bersifat memisahkan.

4. Kelas bersifat terbuka.

Sedangkan kekerasan pada konflik dapat dikurangi jika[6] :

1. Kelas dapat diorganisir

2. Deprivasi absolut dari penghargaan untk subjek kelas memberikan jalan untuk deprivasi relatif

3. Konflik antar kelas dapat diatur secara efektif

Dalam pertentangan tersebut terdapat kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh mereka yang berada dalam struktur (superordinat) dan mereka yang tunduk oleh struktur (subordinat). Di dalam kepentingan tersebut terdapat kepentingan tersembunyi. Superordinat dan subordinat yang belum sadar akan kepentingan tersebut dinamakan kelompok semu karena posisinya diasumsikan memiliki kepentingan tersembunyi yang sama yaitu kekuasaan. Kepentingan tersembunyi tersebut adalah harapan dari masyarakat terhadap mereka yang mempunyai otoritas serta mereka yang tunduk oleh otoritas[7]. Superordinat dan subordinat yang sadar akan kepentingan tersebut dan tahu akan tujuannya akan menjadi apa yang disebut oleh Dahrendorf sebagai kelompok kepentingan. Yang nantinya dari kelompok kepentingan tersebut timbul kelompok konflik dan akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan perubahan pada struktur. Perubahan tersebut akan terjadi dengan syarat faktor-faktor lain juga memenuhi syarat untuk terjadi konflik seperti kondisi politik dan sosial.

Dalam konteks konflik etnis Cina dan Jawa yang terjadi di Surakarta ini, dengan menggunakan pendekatan konflik ini maka dapat dilihat bahwa terjadi dominasi yang dilakukan kelompok dominan terhadap kelompok submisif. Jadi konflik etnis ini dapat dilihat sebagai konflik yang vertikal. Namun stratifikasi dalam masyarakat Surakarta ini tidak baku, dallam konteks sosial etnis Jawa berada diatas etnis Cina, ini terlihat pada konflik yang terjadi etnis Cina lah yang selalu menjadi kambing hitam dari permasalahan pribumi, dan juga terlihat dengan masih adanya fungsi bangsawan dalam mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan di Surakarta. Namun dalam konteks ekonomi, etnis Cina berada diatas pribumi yang diindakasikan dengan lebih berhasilnya etnis Cina dalam hal ekonomi, dan terlaihat pada akar permasalahan bahwa saat itu bangsawan Jawa memilih untuk meminjam uang kepada saudagar Cina. Dalam konflik ini juga terdapat peran dari pemerintah kolonial Belanda yang berperan sebagai supra-state, selain itu pemerintah koloni disini juga berperan menjadi kelas yang berada diatas kedua kelas tersebut. Dalam pembahasan Dahrendorf, maka juga dapat dilihat bahwa pemerintah Belanda memaksakan masuknya etnis Cina ke Surakarta semenjak era Mataram Kartasura. Proses penyatuan ini kemudian menimbulkan konflik yang didasarka atas kepentingan dari masing-masing etnis.

Analisis ‘varieties of conflict’ Charles Tilly

Menurut Charles Tilly, kekerasan kolektif murni diluar tindakan individu, kerusakan nonmaterial, kecelakaan, tapi yang termasuk di dalamnya adalah jangkauan interaksi yang sangat luas. Dari kekerasan kolektif menghasilkan kerusakan secara fisik pada orang atupun objek benda, melibatkan lebih dari dua pelaku pengrusakan, hasilnya paling tidak berasal dari kordinasi antara orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan. Kekerasan dalam konflik antar etnis ini diklasifikasikan oleh Charles Tlly dalam tipe kekerasan interpersonalnya, dalam kekerasan territualkan (Violence Rituals), dimana kekerasan ini terjadi dalam tahap kolektif dan terjadi dalam suatu rancangan besar yang terjadi secara terorganisir. Kekerasan yang teritualkan cenderung tidak terjadi sekali namun dapat terjadi berulang-ulang dan terskala. Contoh dari violence rituals ini adalah perselisihan antara kelompok, eksekusi publik, perjuangan antara suporter dari tim olahraga, dll. Selain itu ia juga membahas mengenai coordinated destruction, opportunism, brawl, dan lainnya. Namun yang akan dipakai pada makalah ini adalah violence rituals.

Dalam konflik antar etnis Cina dan Jawa yang terjadi di Surakarta, kekerasan ini sudah menjadi semacam ritual, atau juga dapat dipolakan, dan juga terjadi terulanng ulang mengikuti pola tersebut. Pola yang terdapat disini adalah ketika ada permasalahan yang terjadi pada etnis pribumi dengan etnis lainnya (Cina, Barat, Arab, India), maka yang akan menjadi sasaran dari kemarahan pribumi disini adalah etnis Cina. Ini kemudian akan diikuti dengan adanya pengerusakan terhadap toko-toko, maupun fasilitas pribadi dari etnis Cina tersebut. Hal ini terjadi terus-menerus semenjak adanya konflik pertama kalinya pada era Mataram Kartasura. Konflik disini dapat dilihat sebagai konflik horizontal, yaitu antara etnis Cina dan Jawa dalam satu hirarki yang sama.

BAB IV

Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilakukan diatas, dapat disimpulkan beberapa poin yang menjawab pertanyaan permasalahan yang dirumuskan yaitu:

1. Konflik antar etnis Jawa dan Cina di Surakarta ini berawal pada masa penjajahan kolonial, dimana saat itu etnis Cina dimasukkan secara paksa kedalam masyarakat Jawa, sehingga benturan kebudayaan antara Cina dan Jawa tidak dapat terhindarkan

2. Dalam konflik ini terdapat beberapa aktor yaitu : 1. Bangsawan yang termasuk didalam etnis Jawa, secaara struktur kelas mereka berada di atas etnis Cina, namun pada perkembangannya posisi ekonomi mereka menjadi berada dibawah etnis Cina karena seringkali bangsawan tersebut meminjam uang kepada saudagar Cina dan akhirnya kehilangan tanah karena terlilit utang. 2. Etnis Cina yang menjadi pedagang. Disini mereka menjadi sasaran sentimen primordial yang diberikan oleh etnis pribumi karena secara ekonomi mereka lebih berhasil dibandingkan etnis pribumi.

3. Bentuk dari manifestasi konflik ini adalah pengerusakan, pembakaran, dan konflik fisik yang dilakukan oleh etnis pribumi kepada etnis Cina. Pengerusakan dan pembakaran dilakukan kepada toko-toko dan fasilitas pribadi milik etnis Cina.

4. Konflik antar etnis ini bila dilihat melalui teori konflik Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa ini merupakan bentuk konflik vertikal antara kelas yang dominan dan kelas submisif, dimana masing-masing kelas membawa kepentingannya masing-masing

5. Konflik antar etnis ini dapat dilihat sebagai konflik horizontal bila dilihat melalui violence rituals yang dikemukakan oleh Charles Tilly. Dimana kedua kelompok yang berkonflik terletak pada ssatu hirarki yang sama, dan konflik yang terjadi merupakan konflik yang dapat dipolakan

Daftar Pustaka

Buku

Purdue, William. Sociological Theory. California : May Field Publishing Company. 1986

Ritzer, dan Goodman . Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. 2004

Tilly, Charles. The Politics of Collective Violence. Cambridge : Cambridge University Press. 2003

Karya Ilmiah

Agus, Drs. Sri, M.Pd. KONFLIK ETNIS CINA DAN JAWA DI SURAKARTA . Solo : Universitas Negeri Solo. 2007.

Sholeh, Badrus, dan kawan-kawan. AGAMA, ETNISITAS DAN RADIKALISME : Pluralitas Masyarakat Kota Sala. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

Internet

Geliat Naga di Surakarta, 2008

www.datastatistik.com



[1] Konpilasi data Korem dan Pemda Solo (Dikutip dari Drs. Sri Agus, M.Pd)

[2] Badrus Sholeh, dkk. ‘Agama, Etnisitas, dan Radikalisme : Pluralitas Masyarakat Kota Sala.’

[3] Data BPS Kota Solo tahun 2005

[4] Drs. Sri Agus dalam papernya menyatakan bahwa masalah ini erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi.

[5] William Purdue ‘Sociological Theory’. Hlm 204

[6] Ibid hlm 204

[7] George Ritzer. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hlm 156.

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus