"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Kamis, 27 Mei 2010

Analisis Kasus Korupsi pada Bentuk Korupsi yang Terjadi Pada Wilayah Birokrasi Negara

Analisis Kasus Korupsi pada Bentuk Korupsi yang Terjadi Pada Wilayah Birokrasi Negara

Dalam membahas masalah korupsi, Van Roy mengatakan bahwa belum ada teori mengenai korupsi yang dapat menjelaskan secara umum. Namun dalam tulisannya ‘On Theory Of Corruption’, ia mengenalkan adanya 3 pendekatan konseptual alternatif dalam menjelaskan permasalahan korupsi sebagai suatu realitas yang bersifat universal, yang berarti lintas kultur dan mempunyai sisi historis, yaitu Ethnocentrism, functionalism, dan evolutionism.

Pada pendekatan ethnocentrism menganut adanya satu kode moral yang dianggap benar, yaitu kode moral dari masyarakat barat, dan kode moral tersebut dianggap sesuatu yang ideal. Penerapan satu kode moral (kode moral Barat) ini dapat dijelaskan dengan adanya hegemoni Barat diamana masyarakat Barat sebagai yang kuat mendefinisikan mereka yang lemah (masayarakat Timur, dll). Dalam menjelaskan permasalahan korupsi, pendekatan ini mengeaskan bahwa terjadinya korupsi dikarenakan adanya perkembangan yang unilinear dari masyarakat, dan korupsi disini dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang tersebut.

Society

Perkembangan moralitas dalam masyarakat

Perubahan yang unilinear(Korupsi)


Gambar 1.1 Model analisis Ethnocentrism[1]

Pada pendekatan functionalism berkonsentrasi terhadap tujuan (purpose) dan hasil (ends) dari institusi. Kata fungsi sendiri selalu sistem yang menuju keadaan stabil. Fungsi tersebut dipengaruhi oleh nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dan terwujud dalam institusi tertentu, termasuk juga dalam menanggapi masalah korupsi. Berbeda dengan ethnocentrism, pendekatan ini memandang adanya cultural relativisme dalam setiap masyarakat, sehingga tidak mengacu hanya kepada satu kode moral yang dianggap universal. Karena itu bila terjadi permasalahan korupsi yang terjadi di satu masyarakat, pasti mempunyai fungsi dalam masyarakat tersebut. Konsekuensinya disini ialah korupsi menjadi terinstitusionalisasikan dan dipertahankan untuk menjaga stabilitas sistem (interstial institution). Namun hal ini juga bersifat relatif, tergantung pada kultur yang dianut suatu masyarakat, bila terjadi perubahan kultur dalam masyarakat juga menyembabkan perubahan dalam memandang suatu relaita (dalam konteks ini, korupsi bisa dianggap benar maupun salah, bergantung pada kultur dalam masyarakat.)

Particular Institution

(Function)

Interstial Institution (disfungsi yang dijaga)


Purpose & Ends (System Stability)

Gambar 1.2 model analisis functionalism[2]

Sedangkan pada pendekatan evolutionist, tidak melihat korupsi sebagai perkembangan yang unilinear dalam moralitas masyarakat maupun korupsi sebagai fungsi dalam masyarakat. Pendekatan ini membahas korupsi dengan mencari sumber terjadinya korupsi tersebut, dengan berfokus pada analisis terhadap perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dalam pengaruhnya terhadap perubahan organisasional dan persepsi dalam masyarakat. Korupsi dipandang sebagai symptom yang mengidentifikasikan perubahan dalam sosial dan ekonomi. Terjadinya perubahan tersebutm, dalam pendekatan ini tidak dibarengi perubahan yang searah dalam organisasi dan persepsi masyarakat sehingga menimbulkan apa yang disebut korupsi. Perilaku korupsi disini dianggap sebagai konsekuensi dari perubahan sosial ekonomi yang tidak sinkron tersebut.

Masyarakat

Terjadi perubahan Sosial – Ekonomi dalam masyarakat

Organisisme

Persepsi masyarakat

Perubahan yang terjadi antarakeduanya tidak sinkron, sehingga menimbulkan perilaku korupsi

Gambar 1.3 model analisis evolutionism[3]

Pendekatan evolutionism ini kemudian juga dibantu dengan analisa pendekatan kontruktivisme, yang membahas mengenai penyebab dari perubahan dari sosial-ekonomi dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini menjelaskan bahwa adanya interaksi antara aktor-aktor yang memanfaatkan kondisi tertentu dalam rangka membangun kekuatan untuk mengembangkan norma maupun nilai baru yang menjadi suatu aturan main[4].Pendekatan konstruktivisme ini berusaha untuk mencari tahu mengenai nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam merubah suatu organisasi dan pola relasi yang melatar belakanginya.

Analisa Kasus Korupsi di Wilayah Birokrasi Negara

Dengan melakukan pembahasan mengenai tiga pendekatan alternatif korupsi yang dikemukakan van Roy tersebut, maka dapat dilakukan analisi mengenai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia pada wilayah birokrasi negara (pemerintah).Pada kasus korupsi pertama yang terjadi dalam pengelolaan anggaran birokrasi dan pembangunan dapat dilihat bahwa pelaku korupsi adalah perseorangan, secara organisasional, dan institusi, namun bila ditelaah lagi dengan melihat matriks, pelaku korupsi paling banyak dilakukan oleh perseorangan (person) dalam pola relasi patronase untuk kepentingan partai maupun promosi. Korupsi pada pengelolaan birokrasi dan pembangunan inipun terjadi pada level kebijakan, praktis, dan organisasional, tapi secara umum dalam matriks menunjukkan bawa korupsi terjadi paling banyak pada level praktis. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa korupsi pada kasus ini adalah korupsi yang dilakukan oleh perseorangan pada level praktis dengan menggunakan pola relasi patronase yang digunakan untuk parpol maupun untuk promosi (kepentingan pribadi). Kasus korupsi ini dapat dijelaskan dengan baik dengan menggunakan pendekatan ethnocentrism, dimana dalam pendekatan ini melihat adanya satu kode moral yang diterapkan, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan yang unilinear, yang dalam kasus ini dilakukan oleh perseorangan dalam satu organisasi/institusi yang melakukan tindak korupsi. Kemudian, perilaku korupsi tersebut dapat bertahan karena adanya pola relasi patronase yang mendukung perseorangan tersebut, minimnya pengawasan governance yang kemungkinan juga terdapatnya aktor-aktor tertentu yang menjadi bagian dalam relasi patronase tersebut dengan orang yang melakukan korupsi pada birokrasi, serta kekurangannya kapabilitas dan tidak berfungsinya badan-badan yang menjadi pengawas dari mekanisme off-budget tersebut. Maka jika dibuat modelnya akan menjadi :

Birokrasi Negara

Tipe Ideal Birokrasi Negara

Birokrasi yang korup

-tidak adanya pengawasan pada mekanisme off-budget

-didukung juga dengan adanya pola relasi patronase, dll


Gambar 1.4 Model analisis korupsi pada bagian pengelolaan anggaran birokrasi dan pembangunan

Pada kasus kedua, yaitu korupsi pada pengelolaan SDM, dimana terjadi beberapa kasus dalam penjualan perekrutan dan kenaikan pangkat berdasarkan KKN, adanya kewajiban untuk ‘menyetor’ untuk pribadi atasan, dan pengabaian standar etik lembaga.Korupsi ini secara umum (melihat pada matriks) tidak berbeda jauh dengan pada kasus pertama yaitu terjadi pada level praktis oleh perseorangan, namun yang membedakan disini adalah pada kelemahan dan pola relasi yang terjadi. Pada kelemahan dari birokrasi itu sendiri sudah terjadi sejak awal perekrutan, serta budaya organisasi yang tidak tertanam didalam kelembagaan maupun tidak adanya mekanisme reward and punisment yang mendorong seseorang untuk tidak melakukan korupsi. Sedangkan pada pola relasi yang terjadi prisonner dillemma yang diakibatkan tidak adanya mekanisme reward and punisment yang membuat perseorangan didalam lembaga tersebut lebih memilih untuk melakukan korupsi. Kasus korupsi dalam pengelolaan SDM ini dapat dianalisis dengan baik jika menggunakan pendekatan fungsionalisme yang dikemukakan oleh van Roy, dalam artian dalam lembaga yang seperti ini, korupsi sudah dianggap sebagai bagian dalam sistem lembaga tersebut (korupsi mempunyai fungsi). Hal ini menyebabkan korupsi dalam pengelolaan SDM terinstitusionalisasikan untuk menjaga stabilitas lembaga tersebut (interstial institution), mekanisme ini dipertahankan melalui perekrutan yang memang dilakukan dengan KKN. Dengan terinstitusionalisasikannya korupsi tersebut, maka korupsi tidak akan dapat hilang didalam organisasi tersebut sebelum adanya usaha dari luar (eksternal) lembaga tersebut, baik secara horizontal (adanya lembaga lain yang menjadi pengawas bagi perilaku korupsi, maupun adanya peran civil society untuk menjaga akuntabilitas melalui transparansi dari lembaga tersebut) maupun secara vertikal (adanya peran state yang secara struktural berada diatas lembaga tersebut untuk dapat mengawasi perilaku korupsi didalam lembaga tersebut, atau bisa juga dengan melakukan rekonstruksi terhadap lembaga tersebut.). Sedangkan prosedur perekrutan dan kenaikan pangkat dalam lembaga ini juga dapat memberikan feedback kepada institusi tersebut, sehingga menjaga stabilitas sistem organisasi tersebut Maka bila dibuat model analisisnya menjadi :

Birokrasi bidang pengelolaan SDM

(particular institution)

Birokrasi bidang pengelolaan SDM dengan adanya budaya korupsi (interstial institution)

-tidak ada budaya organisasi yang mencegah korupsi yang menyebabkan prisoner dillemma, dll

-mekanisme perekrutan dan kenaikan pangkat yang sarat KKN


Gambar 1.5 Model analisis korupsi pada bagian pengelolaan SDM

Sedangkan pada kasus ketiga yaitu kasus korupsi yang terjadi pada birokrasi yang bekerja pada pelayanan publik, korupsi terjadi merata oleh perseorangan dan organisasional dan pada level kebijakan dan organisasional/institusional. Dalam pelayanan publik ini bila melihat dalam matriks yang ada, terdapat sejumlah korupsi seperti : penjualan pelayanan publik, menurunkan standar pelayanan yang seharusnya diberikan, mengambil dana untuk pelayanan, dan yang hanya dilakukan oleh perseorangan pada level praktis adalah distorsi fasilitas publik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Pola relasi yang terjadi dalam kasus pelayanan publik ini adalah terciptanya domain abu-abu yang melekat pada individu sehingga membentuk posisi middle man. Kasus ini bila dianalisis dengan pendekatan evolusionis yang dikemukakan oleh van Roy, maka dapat dilihat disini bahwa ada ketidak seimbangan antara perkembangan organisisme dan persepsi yang ada didalam masyarakat. Ini dibuktikan dengan kasus dan pola relasi yang dapat bertahan akibat kosongnya mekanisme kontrol dalam pelayanan publik yang mencegah adanya korupsi dan juga tidak adanya peran dari civil society untuk mengawasi lembaga pelayanan publik ini untuk situasi Indonesia. Tidak adanya mekanisme kontrol dari civil society ini dalam matriks dijelaskan akiba memang tidak adanya budaya (nilai dan norma) yang menuntut akuntabilitas bagi pelayanan publik ini. Berbeda dengan matriks pada kasus sebelumnya, dalam kasus ini tidak terjadi korupsi didalam mekanisme perekrutan dan kenaikan pangkat didalam lembaga tersebut. Sehingga dapat dikatakan dalam lembaga ini terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan yang terjadi dalam organisisme dan persepsi yang ada didalam masyarakat dan juga pada aktor didalam lembaga tersebut. Maka jika digabungkan dengan model analisis pada pendekatan evolusionis, modelnya akan menjadi :

Civil Society

Terjadi perubahan Sosial – Ekonomi dalam masyarakat

Lembaga pelayanan publik

Persepsi civil society di Indonesia terhadap pelayanan publik

Ketidakseimbangan perubahan yang terjadi menyebabkan tidak adanya kontrol dari Civil Society, begitu juga dengan aktor didalam lembaga pelayanan publik


Gambar 1.5 Model analisis korupsi pada bagian pelayanan publik



[1] Model ini merupakan hasil pemikiran penulis yang mengadopsi teori Edwin van Roy dalam ‘On Theory of Corruption.

[2] ibid

[3] ibid

[4] Hal ini dijelaskan dalam perkuliahan terakhir mata kuliah Sosiologi Korupsi, jurusan Sosiologi, FISIP UI pada tanggal 12 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar