"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Kamis, 27 Mei 2010

Belajar Dari Cunthel

Dusun Cunthel termasuk salah satu daerah wisata Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tepatnya, di lereng Gunung Merbabu, dan Cunthel merupakan wilayah kabupaten Semarang yang paling selatan dengan ketinggian + 1700 m dari permukaan laut. Dusun Cunthel merupakan perbatasan antara Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Magelang. Luas tanah Dusun Cunthel sekitar 53,7, terdiri dari 47,3 Ha tanah pertanian dan 9,4 Ha tanah pekarangan. Maka dari itu, mata pencarian utama dari penduduk Dusun Cunthel ini adalah sebagai petani (268 jiwa), disamping itu ada sebagian pegawai negeri (6 jiwa) dan swasta (51 jiwa). Hampir seluruh petani di Dusun Cunthel ini menanam jenis tanaman sayur-sayuran seperti wortel, kol, bawang, sawi putih, dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan jumlah persediaan air yang mengalir dari gunung hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup-sehari-hari, oleh karena itu alih-alih menanam padi yang membutuhkan air banyak maka dominasi pertanian disini adalah sayur-mayur, pemilihan penanaman sayur-mayur pun juga tidak lepas dari daerahnya yang terletak di dataran tinggi

Teknik pertanian di Dusun cunthel ini kebanyakan masih menggunakan cara non organik, seperti penggunaan bahan kimia dalam pertanian pupuk pabrik dan pestisida, namun para petani di dusun ini tidak menggunakan mesin-mesin seperti traktor, dikarenakan kondisi geografisnya yang tidak memungkinkan. Penggunaaan bahan kimia pengusir hama menjadi pilihan utama disini. Para petani disini masih belum dapat sepenuhnya berpaling dari tawaran hasil pertanian yang melimpah dan kebanyakan dari mereka memilih mengacuhkan kerusakan alam yang terjadi. Apalagi dengan adanya efek ketergantungan yang menjadikan petani hanya percaya pada pestisida dan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil tani mereka. Rusaknya struktur biologi tanah menjadi perhatian khusus mengenai wacana kerusakan lingkungan yang gencar dibicarakan oleh penduduk dunia, termasuk di Dusun Cunthel. Berdasarkan informasi yang didapat penulis saat melakukan penelitian ini, pernah dilakukan penelitian mengenai tanah oleh tim dari Universitas Gajah Mada, bahwa tanah di dusun ini dalam jangka waktu 20 tahun akan rusak apabila tehnik pertanian non-organik tetap dipertahankan.

Oleh karena itu, sekelompok petani yang menamakan diri mereka sebagai kelompok tani MAJU, melakukan berbagai usaha untuk merubah pola pertanian yang dilakukan di Dusun Cunthel. Kelompok tani ini didukung oleh lembaga SINODE dari Jerman melalui Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) yang bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan memberikan penyuluhan mengenai dampak buruk dari penggunaan bahan kimia dalam pertanian serta tehnik untuk menanggulanginya, yaitu pertanian organik. Menurut Rm Agatho Elsener dalam artikel Agatho Organic Farm, mengartikan organik sebagai “satu unit yang terdiri atas bagian-bagian yang mengarah pada kepentingan bersama. Semua di alam ini diciptakan untuk bersama, bukan untuk diri sendiri. Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri berarti berlawanan dengan alam, berlawanan dengan Pencipta. Jika setiap orang mulai memikirkan yang lain)bersikap oragnik), maka yang lain akan memikirkan dia juga.” Sedangkan kelompok tani MAJU beranggapan bahwa sayuran organik, yang mereka tanam, akan lebih baik untuk kesehatan diri sendiri dan orang lain yang memakannya, serta lebih jauh lagi untuk menjaga unsur hara yang ada didalam tanah dan pada akhirnya menyelamatkan tanah pertanian mereka. Terbentuknya kelompok Tani ini juga serta merta membawa seperangkat ide baru mengenai pertanian dengan berorientasi pada isu global, yaitu kerusakan ekologi.Berdirinya kelompok tani organik di dusun Cunthel diharapkan mampu merubah pola bertani masyarakat disekitarnya dan juga agar dapat menyelamatkan kondisi tanah mereka.

Namun, banyak hal yang menjadi kendala bagi kelompok tersebut dalam merubah pola bertani masyarakat. Salah satu kendala para petani tidak merubah pola bertani mereka ini disebabkan mereka lebih memprioritaskan hasil akhir berupa kuantitas daripada kualitas. Selain itu pemasaran dari produk organik pun masih sulit karena harganya yang lebih mahal dan bentuknya yang kalah menarik (bentuk sayuran organik biasanya ‘bolong-bolong’ sedangkan yang non-organik lebih ‘mulus’) dari produk non-organik. Pada akhirnya penjualan produk organik tersebut menjadi kendala ekonomi dimana para petani di Dusun Chuntel yang walaupun mengetahui tanahnya akan rusak dalam jangka waktu 20 tahun tersebut, menjadi terpaksa untuk tetap menggunakan bahan-bahan kimia agar hasil pertanian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pemasaran dari produk organik dari dusun Cunthel ini baru dapat dipasarkan sekitar 30% dari hasil tani keselruhan itupun sudah melalui pasar di Salatiga yang disediakan lembaga SINODE dan di GKJTU Hal ini yang kemudian mengakibatkan sosialisasi untuk merubah tata cara bertani oleh kelompok tani MAJU sendiri menjadi organik terhambat.

Usaha merubah cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani MAJU di Dusun Cunthel memang masih belum lama, kelompok ini baru berjalan sekitar dua tahun, dan masih terus berkembang, pun sekarang ini jumlah anggota mereka juga masih 22 petani. Sampai sekarang usaha tersebut masih gencar dilakukan oleh mereka sampai tujuan kelompok ini, yang tersirat dalam nama MAJU dan dijelaskan oleh Pak Karli yang merupakan ketua dari kelompok ini, yaitu menghasilkan hasil pertanian yang Mantap, Aman untuk dikonsumsi, bertani secara Jujur, sehingga hasilnya dapat dinikmati untuk Umum.

Artikel ini dimuat dalam Newsletter Lantan Bentala edisi 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar