"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Kamis, 27 Mei 2010

Globalisasi dan Pasar Kaget di Depok

Pendahuluan

Menanggapi tugas penelitian yang diberikan oleh dosen Sosiologi Perkotaan mengenai dampak globalisasi terhadap pasar kaget di Jalan Juanda, Depok, karena itu muncul beberapa pertanyaan yang ingin dipecahkan yaitu : apakah ada hubungan antara globalisasi dengan keberadaan pasar kaget yang ada di Jalan Juanda, Kota Depok?Jika ada bagaimanakah hubungannya? Untuk menjawab pertanyaan ini saya mencoba memulai menelaahnya dari definisi mengenai globalisasi itu sendiri. Saya mencari mengenai globalisasi ini melalui buku Teori Sosiologi Modern yang ditulis oleh Ritzer & Goodman dan buku Teori Sosial Post Modern yang ditulis oleh George Ritzer. Saya menggunakan kedua buku ini karena didalam buku ini terdapat berbagai teori mengenai globalisasi yang berasal dari berbagai macam tokoh sosiologi

Globalisasi

Teori mengenai globalisasi menurut George Ritzer, muncul sebagai hasil dari rentetan perkembangan internal atas teori sosial melawan perspektif yang telah ada sebelumnya yaitu teori modernisasi. Karakteristik dari teori ini adalah orientasinya yang menyebarluaskan fokus utama dari dunia Barat. Definisi dari globalisasi sendiri adalah difusi dari seluruh praktek di seluruh dunia, pelebaran hubungan antar benua, organisasi, kehidupan sosial pada skala global, dan tumbuhnya kesadaran global. Globalisasi sendiri terjadi dalam beberapa dimensi utama yaitu : politik/institusi, ekonomi, budaya. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama(homogenitas), atau proses dimana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Pada level ekonomi, globalisasi dapat dilihat sebagai penyebaran ekonomi pasar keseluruh kawasan dunia yang berbeda(heterogenitas). Namun pada pandangan lain, globalisasi ekonomi juga dapat menyebabkan komodifikasi kultur lokal dan ekspansi spesialisasi yang fleksibel yang bisa mengaitkan berbagai produk dengan kebutuhan dari beragam spesifikasi lokal (heterogenitas). Sedangkan pada globalisasi politik/institusi dapat berupa penyebaran model nation-state diseluruh dunia. Tumbuhnya model tata pemerinthan ini diseluruh dunia kurang lebih serupa bentuknya. Dan pada tingkat institusi, dapat dilihat melalui pertumbuhan institusi dan organisasi transnasional banyak menghilangkan kekuasan negara-bangsa dan struktur sosial-lokal lainnya untuk membuat perbedaan dalam kehidupan individu. Salah satu pandangan yang paling ekstrem tentang homogenisasi dalam dunia politik adalah pemikiran Barber tentang ‘McWorld’, atau berkembangnya orientasi politik tunggal yang semakin pervasif diseluruh dunia (Rizer & Goodman, 2007)[1].

Dalam perspektif Marxian, kekuatan utama dari globalisasi adalah pada meningkatnya keuntungan dari perusahaan multinasional melalui imperialisme ekonomi yang semakin jauh. Selain itu kekuatan dari globalisasi juga terletak pada adanya hegemoni kebudayaan di seluruh dunia yang mendukung perusahaan multinasional dan negara Barat. Sedangkan dalam perspektif Weberian menganalisis bahwa peningkatan ketersediaan struktur-struktur terasionalisasi disemua tempat dan kontrol atas manusia diseluruh dunia dalam konteks konsumsi. Struktur yang terasionalisasi memiliki kecenderungan untuk mereplika diri mereka diseluruh dunia dan membuat negara-negaranya yang tidak memiliki struktur tersebut ingin memilkinya (George Ritzer).

Kota Depok

Setelah saya mendapatkan gambaran mengenai globalisasi, maka saya ingin mencoba menghubungkannya dalam konteks kota Depok. Sebelumnya, ada baiknya saya menjelaskan mengenai kondisi umum dari kota Depok yang saya dapatkan melalui situs resmi pemerintah kota Depok. Kota Depok merupakan wilayah termuda di Jawa Barat, dan mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi topografi kota Depok berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas. Kota Depok ini berbatasan langsung dengan Jakarta, karena itulah Depok mengalami permasalahn dalam hal perkotaan sperti masalah kependudukan karena menyangga Jakarta dalam arus migrasi kependudukan yang cukup tinggi akibat peningkatan dalam bidang pemukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Adapunhal ini dibuktikan dengan menaiknya Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (PDRB) kota Depok yang ditunjukkan melalui tabel dibawah ini

Tahun

2005

2006

Rupiah (juta)

%

Rupiah (juta)

%

Pertanian

167,054

3.51

237,593

4.27

Pertambangan

18,148

0.38

0

0.00

Industri Pengolahan

1,954,750

41.07

3,366,166

7.15

Listrik dan Air Bersih

157,838

3.32

424,481

3.03

Bangunan

289,735

6.09

436,238

3.49

Perdagangan, Hotel, Restoran

1,371,884

28.83

2,898,533

9.39

Angkutan/Komunikasi

259,655

5.46

575,820

2.23

Bank/Keu/Perum

183,523

3.86

316,971

2.80

Jasa

356,430

7.49

711,978

8.04

Total

4,759,016

8,967,779

Laju Pertumbuhan

-

-

Tabel 1.1 Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (PDRB) kota Depok[2]

Dari data dan penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintahan yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman , Kota Pendidikan, Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, Kota pariwisata dan sebagai kota resapan air.

Kota Depok dan Globalisasi

. Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor, kemudian pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan Jasa yang semakin pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan. Perencaaan pembangunan kota Depok ini pada awalnya ingin dibangun untuk menjadi lahan hunian, bukannya menjadi tempat kegiatan ekonomi global berlangsung, pernyataan mengenai pembangunan kota Depok ini dijelaskan oleh dosen sosiolog perkotaan dalam perkuliahan. Namun pada perkembangannya, kota Depok ini mendapatkan juga efek dari globalisasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pembangunan Mall Depok, Depok Town Square, dan Margo City, dll. Adanya pembangunan pasar modern yang tidak direncanakan pada awalnya tersebut merubah perencanaan kota Depok. Tidak terencananya hal ini dapat dilihat dengan saling mematikannya pasar modern tersebut, yang dibuktikan dengan matinya mall Depok dengan dibangunnya Depok Town Square, dan Margo City. Hal ini sejalan dengan pemikiran Anthony Giddens yang menganalogikan globalisasi sebagai juggernaut, sebagai mesin yang tidak dapat dikendalikan manusia yang menjadi pengendaranya sendiri.

Dampak Globalisasi Terhadap Pasar Tradisonal di Depok

Dengan melihat pengalaman globalisasi di Depok diatas, saya ingin mencari tahu menganai dampak globalisasi yang ditunjukkan dengan adanya pembangunan pasar modern dan berubahnya perencanaan kota Depok sebagi tempat tinggal dengan dampaknya terhadap pasar kaget yang berada di jalan Juanda sebagai salah satu bentuk pasar tradisional.

Penelitian ini dilakukan di pasar kaget di sepanjang jalan Juanda pada tanggal 5 Mei, yang ada setiap hari Minggu dengan melakukan wawancara secara mendalam dengan salah satu pedagang yang menjadi aktor dari kegiatan ekonomi.Informan yang saya wawancarai tersebut berinisial ‘M’, ia berdagang pakaian olahraga dengan berbagai ukuran. ‘M’ sehari-harinya adalah pedagang pakaian di Pasar Minggu,dan ia mulai berjualan di pasar kaget jalan Juanda ini 2 tahun yang lalu, setelah sebelumnya ia berjualan dipasar kaget yang berada di kukusan kelurahan, dekat dengan Universitas Indonesia. Mengenai pasar kaget ini, ketika ditanya ia menyatakan bahwa

ya iya lah dek..saya aja jualan dipasar kaget yang di kukel itu udah sekitar 3 tahun, berarti udah ada lima tahun..Nah sebelum itu juga udah ada dek..kan kalo Margo City itu paling baru 2tahunan.

Berdasarkan pernyataan informan ‘M’ diatas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pasar kaget di jalan Juanda tersebut tidak bersangkutan dengan dampak dari globalisasi yaitu keberadaan Margo City yang letaknya tidak jauh dari jalan Juanda. Adapun pernyataan informan ‘M’ ini didukung dengan hasil diskusi yang dilakukan oleh kelompok pada perkuliahan terakhir Sosiologi Perkotaan, dimana saat itu anggota diskusi yang melakukan wawancara mendalam terhadap pedagang di sektor yang berbeda pada pasar kaget di jalan Juanda tersebut mendapati bahwa kebanyakan pedagang disana sudah berjualan sejak sebelum dibangunnya Margo City, maupun Depok Town Square.

Jualan begini sih saya udah lama dek..udah hampir 10tahunan lebih..tapi kalo dulu itu sebelumnya saya masih bantuin bapak saya, tapi sekarang bapak saya udah ga jualan lagi..

Pernyataan selanjutnya dari informan ‘M’ juga mendukung hasil diskusi yang dilakukan, dimana informan ‘M’ ini sudah berjualan selama kurang/lebih 10 tahun jauh sebelum efek globalisasi mengenai kota Depok.

Lebih lagi keberadaan pasar kaget ini dijelaskan dengan baik oleh Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Depok, Tutun Sofyan yang dimuat dalam harian sore SINAR HARAPAN pada tanggal 2 Februari 2007, yang menjelaskan pasar kaget tersebut sebagai

keberadaan pasar kaget sebenarnya merupakan budaya bisnis warga Depok. Pasar kaget juga hadir bersamaan dengan kegiatan olahraga pagi masyarakat Depok

Pernyataan ini pun didukung dengan diskusi kelompok yang mendapatkan data bahwa pada awalnya pasar kaget ini dimulai karena sepanjang jalan Juanda tersebut merupakan areal untuk berolahraga warga setempat pada pagi hari setiap hari Minggu.

Kesimpulan

Keberadaan pasar kaget yang terletak di jalan Juanda kota Depok dan terselenggara setiap hari minggu ini tidak berhubungan dengan dan bukan merupakan dampak dari globalisasi, tetapi merupakan sebuah bentuk budaya ekonomi dari masyarakat Depok. Lebih lagi, jika kita melihat pada dimensi terjadinya globalisasi yaitu politik/institusi, ekonomi, budaya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi di kota Depok belum sepenuhnya menyentuh dimensi ekonomi dan budaya pada masayarakat kota Depok, sebaliknya justru dengan keberadaan pasar kaget yang terus berlangsung pra dan paska terjadinya globalisasi yang ditandakan dengan dibangunnya pasar modern ini, merupakan pertemuan dari dua dimensi yaitu budaya dan ekonomi dan terwujud dalam pasar kaget ini, mempertahankan dimensinya masing masing terhadap masuknya globalisasi ke kota Depok.



[1] Dalam bukunya, George Ritzer dan Jonathan Goodman juga menjelaskan mengenai globalisasi berdasarkan tokoh lainnya, misalnya Anthony Giddens yang menganalogikan mengenai globalisasi sebagai Juggernaut dan juga Ulrich Beck yang menjelaskan kondisi masyarakat era globalisasi ini sebagai masyarakat beresiko (Risk Society).

[2] http://regionalinvestment.com/sipid/id/ekonomipdrb.php?ia=3276&is=43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar