"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Sabtu, 17 Juli 2010

Terhadap Feminis

Pendahuluan : Problema Feminis dalam Realita Kehidupan Sehari-hari

Kritik yang dilancarakan oleh para feminis terhadap konsep dari kewarganegaraan terutama karena adanya posisi antara pria dan perempuan didalam masyarakat tradisional dan modern. Esther Boserup menekankan kepada sosialisasi peran yang dibagi menurut jenis kelamin, lebih lanjut lagi menurutnya pembagian kerja menurut jenis kelamin tersebut seeringkali menghambat perempuan untuk turut sserta dalam pembangunan dan juga untuk aktif di ruang publik. Hal ini dikarenakan perempuan dalam masyarakat tradisional maupun modern sering dikaitkan dengan urusan domestik saja. Misalnya saja pada keluarga Jawa ada pepatah yang mengatakan bahwa urusan perempuan adalah dapur, sumur, kasur.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian feminis dalam permasalahan ketidaksetaraan yang dialami perempuan adalah masalah women traficking atau perdagangan wanita yang terjadi di banyak negara (Saskia Sassen, Counter-geographies of Globalization: Feminization of Survival). Dalam kasus ini, wanita terutama dipergunakan dalam industri seks. Wanita diperjual-belikan sebagai pekerja seks komersial untuk menutupi kesulitan keuangan keluarga mereka, dan sebagai suatu pekerjaan. Di Indonesia sendiri, kasus seperti ini banyak terjadi, dimana wanita diperjualbelikan sebagai pemasukan utama dalam keluarga. Hal ini banyak terjadi di sepanjang jalur Pantura (Pantai Utara), daerah Indramayu, yang bayak dilewati oleh bus, dan truk lintas pulau Sumatra-Jawa. Kebanyakan supir yang melewati daerah tersebut akan berhenti sejenak untuk menyewa jasa wanita pekerja susila.

Kemudian dalam essay singkat ini akan dibahas mengenai kritik feminis terhadap kewarganegaraan dan pembangunan, dan melihat bagaimana nasib perempuan setelahnya. Tinjauan kritis juga diberikan penulis sebagai penutu dari essay ini.

Kritik Feminis Terhadap Kewarganegaraan dan ‘Arus Utama’ Pembangunan

Pada perkembangannya, gerakan feminis ini dikembangkan ke level internasional, dimana dalam konfrensi perempuan yang diadakan oleh PBB, menekankan kepada kesetaraan peran pada lelaki dan perempuan. Salah satu perekmbangan nyata dari gerakan ini adalah kemunculan wacana Women in Development (Kriemield Saunders, Towards a Deconstructive Post-Development Critism) (1970) yang memperjuangkan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi di lapangan pekerjaan profesional dalam konteks pembangunan. Tujuannya agar perempuan mendapatkan akses sebesar-besarnya untuk mengaktualisasikan dirinya, terutama dalam konteks negara berkembang.

GAD(Gender and Development) yang membahas mengenai hubungan antara gender dan kelas sosial dalam masyarakat. GAD menghubungkan relasi produksi dalam kapitalisme dengan berbagai macam aspek kehidupan perempuan, kemudian disini perempuan dilihat sebagai agen perubahan yang harus disadarkan. Selain WID(Women in Development) dan GAD (Gender and Development), wacana lain yang muncul didalam gerakan feminis antara lain : WAD (Women and Development) yang menekankan pada permasalah eksklusi yang dialami perempuan dalam pembangunan dan proses pembangunan, Global Feminism yang menekankan perlunya para feminis mempunyai perspektif global

Ilustrasi 1[1]

Dari bagan diatas, dapat dilihat bahwa yang menjadi tujuan utama dari gerakan feminis, yang walaupun dibedakan melalui pembahasannya, mereka berkonsentrasi terhadap pemberdayaan perempuan dalam rangka meningkatkan partisipasinya didalam proses pembangunan. Hal ini kemudian ditanggapi dengan kemunculan dari Participatory Rural Appraisal (PRA) (Jane Parpart, Lessons From The Field: Rethingking Enpowerment, Gender and Development From a Post- (Post-?) Develompent Perspective) yang merupakan perencanaan pembangunan yang berpusat kepada partisipasi dari masyarakat , sehingga hal ini diharapkan dapat melibatkan kaum-kaum yang termarjinalkan, dalam hal ini tentunya perempuan. PRA ini lebih menekankan kepada aplikasi dibandingkan aspek teori. Pada perkembangannya, PRA memunculkan Community Development (Comdev). Hal ini menjadikan pembangunan masuk ke babak yang baru, pembangunan yang melibatkan peran wanita dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi

Kedua pandangan yang telah disebutkan sebelumnya, global feminism dan GAD, merupakan pandangan yang menjadi dasar dari terbentuknya satu organisasi perempuan yang memfokuskan gerakannya terhadap masalah pembangunan di dunia ketiga dan hubungannya dengan perempuan sebagai warga negara, organisasi ini bernama MATCH. Organisasi ini mengembangkan empat program yang menjadi andalannya : Violence Against Woman, The Gender and Development Program, Words of Women, dan Two Research Project. Yang menjadi tujuan utama dari keempat program tersebut adalah perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam perempuan, yang salah satu caranya adalah membagi peran perempuan dalam parenting kepada lelaki dalam keluarga.

Nasib Perempuan Setelah Kemunculan Gerakan Feminis : Ketimpangan dan Eksploitasi dalam Ranah Pekerjaan

Namun, problem yang dihadapi oleh perempuan ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Ada permasalahan didalam kultur patriarki di masyarakat yang mempengaruhi struktur. Dinamika struktur dan kultur tersebut menyebabkan perempuan yang mulai masuk kedalam pasar kerja, mendapatkan ketidaksetaraan dalam bentuk yang baru. Perempuan mendapatkan upah yang lebih sedikit pada posisi kerja yang sama bila dibandingkan dengan lelaki. Karena itu, industri-industri besar yang membutuhkan banyak buruh, banyak yang lebih memilih buruh perempuan dibandingkan lelaki karena harganya yang lebih mahal.

Mather dalam studinya di Tangerang memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraan yang terjadi antara buruh perempuan dan buruh lelaki. Pada tahun 1972, ketika Indonesia sedang gencarnya melakukan pembangunan, menyebabkan Tangerang sebagai salah satu daerah yang terletak tidak jauh dari Jakarta sebagai ibukota dan pusat perekonomian, mengalami perkembangan, terutama dalam pembangunan industri. Tahun 1978 terjadi perekrutan dalam skala besar karena didirikannya industri

Tabel.1[2]books_002

Pada saat itu, yang menjadi sasaran untuk menjadi buruh perempuan adalah pada usia 20-31, dimana pada usia ini mereka mencari pekerjaan dan mau menerima gaji kecil (di tahun 1978 dengan uang Rp 150 hanya dapat membeli satu liter beras). Lebih lagi, para kapitalis diuntungkan karena perjanjian kerja yang menguntungkan. Mereka tidak perlu membayar uang tambahan, tunjangan kesehatan, dan sebagainya. Dalam posisi ini buruh wanita sangat tereksploitasi.


Ilustrasi 2[3]

Mather melanjutkan bahwa eksploitasi yang dialami perempuan pada pekerjaannya ini dilanggengkan dengan adanya dua penyokong utama. Pertama adalah institusi keluarga, melalui pernikahan yang dialami perempuan, maka mereka akan menjadi menurut terhadap perintah dari keluarga mereka. Dalam hal ini perempuan dikomodifikasi menjadi pemasukan untuk keluarga. Kedua adalah institusi agama, Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh warga Tangerang, memiliki budaya Patriarki yang kuat. Ini memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan di keluarga yang lebih banyak didominasi oleh lelaki.

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bagaimana gerakan feminis yang menginginkan kesetaraan peran sebagai warga negara dan agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan telah membawa mereka kedalam eksploitasi dan ketimpangan dalam bentuk baru. Studi Mather menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja justru mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan lelaki, hal ini menyebabkan melunjaknya jumlah buruh perempuan.

Ilustrasi 3[4]

Ditambah lagi budaya patriarki yang masih ada menyebabkan tidak hilangnya pekerjaan di ranah domestik. Sepulangnya mereka dari bekerja, perempuan tetap dihadapkan kepada pekerjaan sehari-hari sebagai rumah tangga. Memang hal ini lebih banyak terjadi pada konteks negara berkembang, dimana masih melekatnya budaya tradisional. Namun dengan adanya kasus ini, membuktikan bahwa masih ada ketimpangan yang dialami perempuan setelah mereka dihadapkan pada pekerjaan.

Penutup: Tinjauan Kritis Terhadap Feminis

Gerakan Feminis memiliki tujuan mengembangkan posisi teoritis untuk menaikkan kewarganegaraan politis dari wanita dengan kebijakan dan praktis yang didasari oleh dua pendekatan, yaitu perbedaan perkembangan konseptual dan praktis dari kewarganegaraan dalam dominasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin didalam ruang privat dan pendekatan yang berusaha memperjuangkan persamaan dalam ruang publik dan privat. dalam laporan UNDP pada tahun 1995 sampai pada kesimpulan bahwa ruang politik diperuntukan untuk semua warga negara namun hal ini dimonopoli oleh lelaki.

Fenomena mengenai rendahnya partisipasi politik didalam ruang politik ini terutama terlihat jelas kemandekkannya dalam negara yang merupakan bekas negara komunis, meskipun ada peran serta secara aktif wanita dalam transisi menuju demokrasi. Hal ini merupakan simtom dari pola yang lebih luas lagi dimana wanita aktif dalam transisi menuju demokrasi namun tidak dibarengi dengan kekuatan politik wanita. Namun disini sebenarnya sudah mulai ada perubahan, karena perempuan sudah dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

Menurut penulis sendiri, perempuan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai kelas sosial yang tersubordinasikan oleh pria. Karena itu yang harus dilakukan pertama kali dalam kasus ini bukanlah mengenai meningkatkan partisipasi dari wanita dalam pembangunan maupun kegiatan politik, melainkan membangun basis kesadaran dari wanita untuk berpolitik. Dalam hal ini mereka harus dibebaskan dari hegemoni pria yang dibentuk melalui kehidupan sehari-hari, dari budaya patriarki didalam masyarakat.



[1] Hasil pemikiran penulis

[2] Data Depnaker yang diambil dari Dhurandhara HKP dan Ulyn Nuha dalam ‘Eksklusi Sosial (Gender) dan Pembangunan’

[3] Hasil pemikiran penulis

[4] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar