"The danger today is in believing there are no sick people, there is only a sick society."
Fulton J. Sheen

Jumat, 18 Februari 2011

Agama dan Globalisasi di Bali

Agama dan Globalisasi di Bali
Pendahuluan
Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral, yakni benda-benda yang terpisah dan terlarang- kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral(Fu Xie, Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme). Sedangkan menurut teori fungsional, fungsi agama adalah menyediakan dua hal, yaitu suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti dimana deprivasi dan frustasi dapat dialami senbagai sesuatu yang mempunyai makna, yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia yang mempertahankan moralnya.







Bagan 1.1 Bentuk solidaritas organik didalam masyarakat.
Dalam suatu masyarakat, biasanya agama sebagai salah satu fungsi dalam sistem masyarakat, bertemu dengan adat. Posisi agama dan adat pada masyarakat adalah sama, keduanya juga mempunyai kesamaan fungsi dan karakteristik yaitu untuk mengatur perilaku masyarakat penganutnya, dan juga sifatnya yang eksternal dan memaksa.
Interaksi antara adat yang merupakan produk dari masyarakat dan agama yang merupakan hasil penyebaran agama, dapat berjalan dengan baik pada konteks masyarakat terutama pada masyarakat Bali. Misalnya, dalam masyarakat Bali dikenal suatu sistem kasta, dan upacara-upacara keagamaan yang merupakan budaya agama Hindhu, namun bersamaan dengan budaya agama Hindhu tersebut adat-adat di Bali tetap dapat dilaksanakan dengan baik yang dicontohkan dengan pakaian adat Bali yang dipakai ketika upacara keagamaan dilakukan, dan sebagainya.
Namun, pada konteks masyarakat kontemporer, agama dan adat mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama dan adat mereka. Hal ini, terutama karena keduanya yang bersifat irasional . Dalam paper ini hanya akan dibahas mengenai fungsi agama dalam menanggapi fenomena globalisasi di Bali.

Pembahasan
Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak, seperti sorga, moksha dan nirvana. Karena itu, tujuan-tujuan ini mesti mendapatkan penafsiran yang membumi, yaitu bagaimana membumikan sorga dan moksha tersebut -- yang dalam bahasa Bali sering disebut sebagai suka tanpa wali duka
-I Putu Gede Sutarya-
Seperti yang terlihat sekarang, Bali merupakan salah satu tujuan utama turis-turis luar negeri maupun turis lokal, hal ini menyebabkan pengeroposan agama pada masyarakat Bali, terutama karena keduanya yang bersifat irasional (arus modernisasi menyebabkan masyarakat yang terkena dampaknya menjadi lebih rasional). Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
Fenomena di Bali Dalam Perspektif Parsons
Dalam teori fungsionalisme strukturalis Talcott Parsons , ada empat fungsi dalam sistem “tindakan” yang dikenal dengan skema AGIL. Yang dimaksudkan dengan fungsi disini adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem . Fungsi ini menurut Talcott Parsons dibutuhkan oleh semua sistem secara bersama-sama untuk dapat bertahan (survive), meskipun begitu keempat fungsi ini tidaklah nyata melainkan unit analisis yang dipakai Parsons. Empat fungsi ini adalah : Adaptation (fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem tersebut), goal attainment (fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya), integration (fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka mengatur hubungan bagian-bagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-aktor didalamnya), dan latency (fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, pada tingkat individu maupun pola-pola kultural).
Sistem Kultural (Latency) Sistem Sosial (Integration)
Organisme Perilaku (Adaptation) Sistem Kepribadian (Goal Attainment)


Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan Umum
Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.
Menurut Parsons juga, masalah mengenai fungsionalisme stuktural dijawab dengan asumsi sebagai berikut :
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan-diri atau keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5. Sistem memelihara batas-batas dalam lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
7. Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Dari teori struktural fungsional tersebut, kita dapat melihat mengenai fenomena agama yang terjadi di Minangkabau dan Bali. Ketika agama mulai mengeropos akibat adanya arus modernisasi yang mempengaruhi masyarakatnya, maka disitulah agama yang tergabung dalam sistem masyarakat Bali melakukan mekanismenya terhadap gangguan yang datang dari eksternal tersebut. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga nilai-nilai agama dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam
Asumsi ketujuh dari Parsons, lebih jauh lagi, menjelaskan mengenai bahwa pada suatu struktur masyarakat yang telah mapan, maka sistem masyarakat Bali akan tetap memelihara keseimbangannya dengan cara menyesuaikan dari dalam. Agama, yang dalam pemahamannya bersifat irasional, namun dalam konteks mempertahankan keberadaannya pada masyarakat Bali berintegrasi sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya yang terkena dampak dari globalisasi dan segala sesuatu yang menyertainya. Jadi, disini dapat disimpulkan bahwa agama yang telah mapan berintegrasi dalam sistem masyarakat Bali, kemudian berfungsi untuk mencangkokkan budaya yang dibawa dalam globalisasi.
Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat, terutama dalam kasus ini, agama Hindhu di Bali. Nilai-nilai dan norma-norma yang tersirat dalam suatu ajaran agama mulai digali kembali agar masyarakat Bali sendiri menyadari pentingnya peran agama dalam kehidupan sehari-hari sehingga keduanya dapat tetap eksis. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.












Penutup
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Agama, menurut Durkheim adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang sakral.
2. Pada konteks masyarakat kontemporer, agama mulai sedikit-sedikit tergusur oleh arus globalisasi yang membawa budaya-budaya Barat dan menyebabkan westernisasi sehingga menyebabkan masyarakat di Bali semakin individualis dan perlahan meninggalkan agama mereka.
3. Kelemahan agama adalah ketidakmampuannya menjelaskan tujuan-tujuannya yang bersifat abstrak
4. Namun nyatanya agama tetap dapat eksis sampai sekarang.
5. Pada masyarakat Bali, hal tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan fokus-fokus yang ada dalam globalisasi terhadap tindakan agama, sehingga dapat diterima dan dijalankan kembali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali dengan cara menyesuaikan dari dalam.
6. Namun pada level tertentu ajaran agama justru dirasionalkan dalam masyarakat yang rasional dan yang terkena dampak globalisasi agar agama tersebut dapat tetap bertahan dalam keseharian masyarakat. Dalam artian, disini ajaran agama Hindhu di Bali dijelaskan dan dibahas secara rasional untuk menggapai tujuan dari agama dalam masyarakat tersebut, yaitu mempersatukan dan mengontrol perilaku dari penganutnya dan mempertahankan sistem masyarakat Bali yang telah terlebih dulu mapan.

Daftar Pustaka
Fu Xie. Sosiologi Agama Menurut Fungsionalisme (2009)
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Modern (2007).
I Gede Sutarya. GALUNGAN-KUNINGAN, MERASIONALKAN TUJUAN AGAMA (2006).
I Gede Sutarya . NYUPAT DOGMATISME MENUJU RASIONALISME (2007).
Thomas F.O`dea. Sosiologi Agama ‘Suatu Pengenalan Awal’

Kristenisasi Dalam Pandangan Durkhemian

Pendahuluan
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajaklah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah, Aku menyertai Kamu senantiasa sampai akhir zaman.
Mathius 28:19-20

Kristenisasi adalah suatu gerakan keagamaan. Gerakan ini muncul akibat kegagalan Perang Salib . Berupaya menyebarkan agama krsiten ketengah bangsa-bangsa di dunia. Terutama di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia.Gerakan ini dimulai sejak abad ke-15 Paus di Roma memberi tugas kepada misionaris bangsa Portugis dan Spanyol untuk menyebarkan agama Katholik. Kemudian bangsa penjajah pun tertarik untuk menyebarkan ajaran agama Kristen Katholik dengan mengirimkan para misionaris di negeri-negeri jajahannya.
Sejarah Kristenisasi ini dimulai sejak masuknya bangsa Portugis ke Maluku yang saat itu digerakkan oleh seseorang misionaris bernama Franciscus Xaverius(1506-1552), ia merupakan orang Portugis yang menyebarkan agama Kristen Katholik dengan berkeliling ke kampung-kampung dengan membawa lonceng ditangan untuk mengumpulkan orang-orang untuk diajarkan agama. Gerakan ini(Kristenisasi) sempat tersendat karena terbunuhnya Sultan Hairun, yang menyebabkan kebencian rakyat Maluku terhadap bangsa Portugis.
Jatuhnya Maluku ke tangan Belanda kemudian menggantikan kegiatan penyebaran agama Katholik menjadi penyebaran agama Kristen Protestan . Latar belakang Belanda menyebarkan agama Kristen Katholik karena pada abad ke-17 gereja di negeri Belanda mengalami perubahan, agama Katholik yang semula menjadi agama resmi negara diganti dengan agama Kristen Protestan. Sehingga pemerintah Belanda melarang pelaksanaan ibadah agama Katholik di muka umum dan menerapkan anti Katholik, termasuk di tanah-tanah jajahannya. Di Indonesia sendiri, VOC(berdiri tahun 1602), mendapat kekuasaan dan tanggung jawab memajukan agama. VOC mendukung penyebaran agama Kristen Protestan dengan semboyan “siapa punya negara, dia punya agama”, kemudian VOC menyuruh penganut agama Katholik untuk masuk agama Kristen Protestan. VOC turut membiayai pendirian sekolah-sekolah dan membiayai upaya menerjemahkan injil ke dalam bahasa setempat. Di balik itu para pendeta dijadikan alat VOC agar pendeta memuji-muji VOC dan tunduk dengan VOC.
Agama Kristen Katholik kembali mendapatkan tempatnya ketika Daendels berkuasa. Daendels memberikan hak yang sama terhadap agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Pada tahun 1889, gerakan Kristenisasi berlanjut, dimana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891. Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggl 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 168 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak diantara dua batang pohon “sono”. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono .
Kristenisasi kemudian berlanjut hingga sekarang ini, dan berkembang pesat pada awal abad ke-20, tercatat kenaikan angka penganut agama Katholik dan diangkatnya Uskup Agung pertama di Indonesia pada tahun 1940 yaitu Romo Agung Albertus.

1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari
Pertambahan a. orang yang dibaptis 38 104 133 209 354 280 283 303 345 277
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 16 8 2
c. yang pindah ke paroki ini 241 127

Pengurangan a. umat yang meninggal 11 19 12
b. umat yang pindah ke paroki lain 77 27 112
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 2710 3099 3224 3602 4045 4436 4832 5139 5482 5637
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 802 917 954 1066 1197 1312 1430 1520 1622 1668

Penerima Komuni I 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995
0 58 0 80 64 42 49 40 203 203
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Umat tanggal 1 Januari 5637 5922 6133 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838
Jumlah KK pada tanggal 1 Januari 1668 1663 1722 1910 1961 2062 2173 2204 2432 2643
Pertambahan a. orang yang dibaptis 279 322 304 330 300 341 257 302 290 334
b. diterima dari gereja kristen
lain tanpa baptis 3 6 4 3 20 27 5 4
c. yang pindah ke paroki ini 136 197 12 137 1 233 333

Pengurangan a. umat yang meninggal 24 22 21 34 31 4 7 11 16 23
b. umat yang pindah ke paroki lain 109 84 179 456 22 58 57 98 65 294
Jumlah umat pada tgl 31 Desember 5922 6144 6438 6293 6697 7003 7196 7395 7838 8076
Jumlah KK pada tgl 31 Desember 1663 1722 1090 1961 2062 2173 2204 2432 2643 2722

Penerima Komuni I 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
202 62 57 79 84 74 79 88 79 43

Perkembangan Jumlah Umat di Paroki Kedoya, Jakarta Selatan
Dari data diatas, dapat dilihat jumlah perkembangan umat agama Kristen Katholik di Paroki Kedoya dari tahun 1986 s/d 2005 yang menunjukkan terus menaikknya jumlah umat bila dibandingkan pengurangannya.
Kerangka Teori dan Pembahasan
Dalam pembahasan mengenai agama, Emile Durkheim berargumen bahwa praktek agama terkait dengan konsep sosiologi yaitu cara bertindak yang dipengaruhi fakta sosial, dimana menurut Robert M. Z. Lawang, fakta sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa individu dari luar, atau setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas dari manifestasi individu. Cara bertindak dibagi menjadi dua: fiks (diatur norma yang bersifat eksternal, memaksa dan umum), dan tidak fiks (diatur oleh norma kelompok yang sifatnya sesaat). Secara garis besar, konsep agama menurut Durkheim digambarkan dengan skema sebagai berikut







Bagan Konseptual Agama Durkheim
Bila kita menggunakan kerangka teoritik diatas, maka dapat dianalisis mengenai perkembangan agama Kristen Katholik di Indonesia melalui Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris sesuai dengan penjabaran diatas.
Kitab Suci (Bible) sebagai benda yang dianggap suci bagi umat agama Kristen Katholik memberitakan adanya kedatangan Juru Selamat yang bernama Yesus Kristus yang merupakan Anak Allah dan turun sebagai manusia untuk menebus dosa manusia. Hal ini dipercayai bagi penganutnya dan menjadi suatu sistem kepercayaan. Dalam Kitab Suci, selain mengabarkan kedatangan Mesias, juga mewartakan mengenai ajaran-ajaran Yesus, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para murid-Nya (12 rasul) yang dimuat pada Perjanjian Baru. Sedangkan pada kitab Perjanjian Lama berisikan mengenai catatan sejarah dan ajaran sebelum datangnya Yesus Kristus.
Pada Kitab Suci juga menjelaskan bahwa penyebaran ajaran-Nya ini perlu untuk dilakukan, dan juga untuk membaptis semua orang dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat 28:19-20), ayat inilah yang menjadi dasar dari praktek resmi Kristenisasi oleh para misionaris. Para misionaris juga melakukannya karena menurut Kitab Suci mereka semua disertai oleh Yesus sendiri sampai akhir zaman yang berarti mereka mendapatkan keselamatan pada akhirnya.
Dalam beberapa hal, konsepsi Durkheim mengenai agama dapat menjelaskan mengenai gejala Kristenisasi di Indonesia yang dilakukan oleh para misionaris tersebut. Maka dalam hal ini bagan konsepsi Durkheim dapat dibuat sebagai berikut:







Bagan Konseptual Agama Durkheim yang disesuaikan oleh penulis
Dari bagan ini dapat dilihat bahwa yang menjadi pusat adalah Kitab Suci yang berisikan ajaran mengenai Yesus sebagai Juru Selamat bagi umat Kristen Katholik. Ajarannyapun juga meliputi penyebaran agama Katholik sehingga ajaran inipun menjadi fakta sosial yang mengatur cara bertindak dari para penganutnya dalam hal ini adalah para misionaris yang mengajarkan mengenai agama kepada penduduk Indonesia.
Respon
Meskipun konsepsi Durkheim ini dapat menjelaskan gejala umum mengenai agama, namun konsepsi ini gagal dalam menjelaskan peran dari state (pemerintah) dalam hal penyebaran agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama merupakan suatu sistem kepercayaan terpadu dan prakteknya berhubungan dengan benda suci. Namun yang terjadi di Indonesia, praktek tersebut mendapat campur tangan pemerintah pada saat itu, yaitu VOC dan dilanjutkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa Kristenisasi sempat terhambat akibat dijajahnya Indonesia oleh Belanda yang kemudian melarang kegiatan agama Kristen Katholik dan menjalankan penyebaran agama Kristen Protestan. Kemudian juga dijelaskan bagaimana praktek ini dapat berjalan kembali setelah Daendels berkuasa. Maka dari sini dapat dilihat mengenai peran pemerintah dalam kegiatan beragama. Hal ini juga merupakan pola-pola umum yang terjadi pada negara-negara yang pernah dijajah, sehingga kebanyakan negara yang pernah dijajah akan memiliki agama, baik mayoritas maupun minoritas, dari negara penjajahnya